Deputi Tim Transisi Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK), Hasto Kristiyanto mengkritik Rancangan APBN 2015. Dia menilai penyampaian nota keuangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menonjolkan sisi keberhasilan tak seirama dengan realitas beratnya tantangan yang dihadapi pemerintahan baru.
"Memang postur anggaran menampakkan belanja negara yang sepertinya melonjak drastis mencapai Rp 2.019.9 tiliun. Pendapatan negara pun seperti meroket menjadi Rp 1.762.3 triliun. Namun apa makna APBN tersebut dalam perspektif ideologi menjadi bangsa yang berdikari dan kerakyatan?" kata Hasto dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (16/8/2014).
Menurut Hasto, APBN 2015 seharusnya mencerminkan transisi kepemimpinan untuk menciptakan dasar yang lebih baik bagi perekonomian Indonesia ke depan. Karena itulah, RAPBN 2015 seharusnya menyisakan ruang fiskal yang cukup bagi pemerintahan yang akan datang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hasto melanjutkan, Presiden SBY seharusnya lebih realistis dan berani mengungkapkan fakta terhadap besarnya persoalan perekonomian national tahun 2015 yang akan datang.
Masalah itu tidak hanya aspek fundamental berupa rendahnya rasio perpajakan yang besarnya hanya sekitar 12.3 %. Besarnya subsisi BBM dan listrik sebesar Rp 364 triliun akibat politik populis dan kegagalan reformasi structural industri migas menjadi persoalan yang sangat serius.
"Belum lagi utang ikutan terhadap Pertamina yang mencoba ditutup-tutupi dengan besaran sekitar Rp 48 triliun akibat beban subsidi BBM tahun lalu yang belum diselesaikan hingga saat ini. Selain itu, APBN dirancang defisit anggaran sebesar Rp 257 triliun," ujarnya.
"Seharusnya APBN 2015 dirancang lebih realistis tanpa menyertakan defisit yang mencerminkan ketergantungan negara terhadap pembiayaan yang berasal dari utang luar negeri dan dari pasar uang," tambah Hasto.
Lebih lanjut, Wakil Sekjen DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini melihat postur RAPBN 2015 yang diusulkan oleh Pemerintahan SBY, nampak bahwa sikap kenegarawanan untuk meletakkan fundamen fiskal yang kuat sangatlah diperlukan.
Disinilah proses transisi pemerintahan yang sebenarnya, yakni keberanian untuk membuka berbagai persoalan sistemik yang eksis di dalam sistem perekonomian Indonesia.
"Sayang sekali, Pemerintahan SBY tidak terbuka untuk membuka persoalan seperti ketidakberhasilan dalam reformasi perpajakan, dan ketidakmampuan melakukan efisiensi di sistem produksi dan distribusi di sektor perminyakan," terangnya.
Atas dasar hal tersebut, kata Hasto, maka kepemimpinan Jokowi-JK terus mengkaji berbagai inisiatif baru, tidak hanya sebagai pelaksanaan visi misi, namun untuk meletakkan dasar bagi bekerjanya ekonomi berdikari yang percaya pada kekuatan rakyat sendiri.
"Saatnya seluruh gagasan terobosan diambil, yang di satu sisi memastikan penerimaan negara semakin besar, dan disisi lain merombak politik alokasi dan distribusi yang lebih mencerminkan keadilan bagi peningkatan kemampuan rakyat dalam berproduksi," ujar Hasto.
(mpr/fdn)











































