Timbangan dilengkapi dengan mikrokontroller arduino uno, empat sensor load cell, buzzer, modul suara,dan speaker. Selain itu terdapat keypad dengan huruf braille. Selain menghasilkan suara, timbangan juga dilengkapi dengan dengan LCD Graphic 16x2 sehingga hasil pengukuran juga akan nampak pada layar.
Lima orang mahasiswa itu adalah Ary Kusuma Ningsih, Arif Abdul Aziz, Laely Nurbaety, Luthfi Yahya, dan Dwitya Bagus Widyantara. Mereka tergerak mengembangkan timbangan bersuara untuk memudahkan penyandang tuna netra dalam berwirausaha.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada umumnya kata Ary, para tunanetra merasa kesulitan dalam mendapat informasi yang akurat mengenai berat sebuah barang saat jual beli. Akibatnya rawan terjadi penipuan karena keterbatasan mereka.
Ary kemudian memaparkan sistem mekanik dari timbangan ini berupa meja timbangan yang pada masing-masing kaki meja diletakkan sensor load cell. Meja timbangan ditutup rangka berbentuk balok dengan dimensi 55 x 40 x 21 cm. Pada sisi depan timbangan dirancang dengan kemiringan 45 derajat untuk penempatan LCD, keypad serta tombol pilihan mode. Untuk speaker ditempatkan di bagian belakang alat.
"Alat ini memakai power dari adaptor untuk bisa beroperasi," katanya.
Menurut Ary, timbangan yang mereka kembangkan ini memiliki kapasitas timbang hingga 30 kilogram. Namun dalam aplikasinya hanya dibatasi untuk mengukur hingga berat 10 kilogram saja.
"Kemampuan sensornya bisa sampai 30 kg, tapi untuk keamanan dan keakuratannya kita batasi sampai 10 kg," katanya.
Menurut dia, timbangan Rama Shinta memiliki dua mode pengukuran berat. Pertama, untuk mengukur berat benda yang akan ditimbang dengan meletakkan barang di atas meja timbangan. Hasil pengukuran akan tampak pada layar LCD dan menghasilkan suara.
Kedua, untuk mengukur berat benda sesuai dengan berat yang diinginkan pengguna. Untuk mode ini, sebelumnya pengguna perlu mengatur berat beban yang diinginkan dengan memasukkan angka menggunakan keypad. Apabila berat yang diinginkan telah terpenuhi maka timbangan akan mengeluarkan bunyi buzzer “beep” panjang. Sementara berat yang diinginkan belum tercapai maka akan terdengan bunyi “beep” singkat.
Ary mengaku pada saat mengembangkan timbangan bersuara ini mengalami kendala. Awalnya mereka merasa kesulitan saat menyesuaikan berat timbangan degan suara yang dikeluarkan.
"Saat kami mengkonversikan berat ke suara ini banyak kendala, tapi kemudian berhasil," katanya.
Sementara itu Arif menambahkan timbangan bersuara merupakan hasil dari Program Kreativitas Mahasiswa Karya Cipta (PKM-KC) 2014. Untuk riset dan pengembangan alat mereka menghabiskan biaya sekitar Rp 10 juta.
Inovasi alat ini, membuat mereka maju ke Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) ke-27 yang akan dihelat di Universitas Diponegoro, Semarang pada 25-28 Agustus 2014.
Menurut Arif, meski sudah ada sejumlah permintaan dari para penyandang cacat yang akan berwirausaha dengan memanfaatkan alat ini namun belum bisa diproduksi secara massal.
"Apabila akan kami pasarkan satu buah timbangan suara harganya sekitar Rp 3-4 juta. Sedangkan timbangan barang biasa, harganya antara Rp 2-3 juta," pungkas Arif.
(bgs/nwk)