"Pemerkosaan itu bisa dua kemungkinan yaitu pelakunya kabur atau tertangkap. Jika akibat pemerkosaan itu mengakibatkan traumatik, maka boleh dilakukan aborsi," kata pengamat hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Dr Mudzakir saat berbincang dengan detikcom, Jumat (22/8/2014).
Namun bagaimana jika setelah diaborsi, kemudian kasusnya disidangkan ke pengadilan, ternyata hakim memutuskan kasus itu bukan pemerkosaan? Ternyata perempuan tersebut mengaku-aku diperkosa supaya bisa melakukan aborsi secara legal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam UU 36/2009 tentang UU Kesehatan Pasal 75 berbunyi:
1. Setiap orang dilarang melakukan aborsi
2. Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dikecualikan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan atau
b. kehamilan akibat perkosaan menyebabkan trauma psikologis perkosaan.
Atas amanat UU ini, lalu Presiden SBY menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi pada 21 Juli 2014 lalu.
"Dalam pasal di atas, kuncinya adalah menimbulkan traumatik yang mendalam. Hal ini harus dinyatakan secara tertulis oleh dokter kejiwaan. Atas izin kepolisian, maka bisa dilakukan aborsi," ujar Mudzakir.
(asp/nrl)