"Kita lihat dulu, kalau sudah ada mobil Satpol PP dari depan dan penjual di depan pada kabur, kami ikutan kabur juga. Ada juga yang ngumpet di parkiran dan di warung-warung. Kalau saya sih biasa langsung kabur aja," ujar Triana, yang berjualan nasi pecel dengan bakul gendong ketika ditemui di kawasan Monas, Jakarta Pusat, Minggu (3/8/2014).
Perempuan yang sudah 5 tahun berjualan di kawasan Monas ini membocorkan strategi lain, yakni biasanya para PKL menunggu Satpol PP hingga pergi. Dan PKL akan kembali lagi bila Satpol PP sudah enyah dari kawasan razia di Monas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedangkan Adi, seorang penjual es kelapa, memilih mengambil jurus 'langkah seribu' alias lari saja bila ada razia. "Ya bisa aja, pokoknya lari aja. Walaupun saya bawa gerobak gede, saya sendiri aja lari. Emang agak susah, ketangkep atau nggak itu hoki," tuturnya.
PKL lain, Perlis, pedagang kaos langsung membungkus barang dagangannya bila ada razia. Dia tak peduli meski ada barang dagangannya yang tercecer.
"Walaupun pada berceceran bodo amatlah yang penting saya bisa lepas. Kalau pas razia kondisinya rame banget, ada beberapa pedagang yang bisa kabur dari Satpol PP karena terlalu banyak yang dirazia," tuturnya.
Bahkan, bila kenal dengan personel Satpol PP, pedagang bisa dibebaskan. "Katanya kalau kenal dengan Satpol PP bisa dibebaskan. Saya sih nggak kenal. Teman saya ada yang dibebasin karena kenal dengan Satpol PP," ungkap Perlis.
Dari cerita Perlis, razia Satpol PP tampaknya sudah menjadi keseharian para PKL di Monas. Namun, Perlis kasihan dengan pedagang yang sudah berumur.
"Kalau penjual masih muda sih nggak apa-apa masih kuat lari. Cuma kasihan sama yang udah tua. Emang sih Satpol PP-nya nggak main fisik, tapi kadang kan juga ada kaya gesekan, kasihan yang udah tua. Soalanya Satpol PP nya nggak pandang bulu, meski itu cewek, ataupun sudah tua, tetap ditangkap," celotehnya.
(nwk/try)