Jakarta - Pembalakan haram selain merusak ekositim, juga merugikan negara. Secara nasional, dalam setahun, pajak dari pungutan hasil hutan negara telah hilang Rp 60 triliun.Menteri Kehutanan MS Kaban sendiri tak habis pikir melihat kerugian negara dari hasil pungutan hutan yang hilang begitu saja. Yang menikmati dari hasil jarahan hutan alam hanya sekelompok mafia kayu yang meninggalkan segudang ancaman bencana alam. Kerugian akibat pembalakan haram itu sudah pada tahap yang luar biasa.Penerimaan pajak negara dari segi kehutanan saja, telah kehilangan sebesar Rp 60 triliun per tahun. Ini baru dari segi penerimaan pajak. Belum lagi kerugian ekosistem yang rusak akibat pembalakan haram itu. Biasanya biaya penanaman kawasan hutan jauh lebih besar dari penerimaan pajak itu sendiri.Secara nasional Pemerintah Indonesia menerima laporan resmi setiap tahun kehilangan 72 juta meter kubik kayu dari hutan alam. Maka jika dihitung dana reboisasi dan Profisi Sumber Daya Hutan (PSDH), duit sebanyak Rp 60 triliun hilang begitu saja.Kaban mengaku, sewaktu dia masih menjadi anggota DPR bidang Komisi Anggaran, Departemen Kehutanan melaporkan pajak dari penjualan kayu hanya 5,7 juta meter kubik per tahun. Dari hasil penjualan kayu tersebut, yang masuk ke APBN dari hasil pungutan pajak DR dan PSDH hanya Rp 2,2 triliun per tahun.Dari hasil penarikan pajak DR dan PSDH ini, 60 persen dananya dikembali ke daerah penghasil hutan. Sedangkan sisanya akan dibagikan ke sejumlah provinsi lainnya.Di mata Kaban, pemberantasan pembalakan haram masih dilakukan separuh hati oleh instansi terkait. Banyak oknum aparat yang memikirkan keuntungan sesaat dari hasil illegal logging itu. Padahal dampak yang ditimbulkan akibat kerusakan hutan alam itu sangat besar: sulit air di musim kemarau, banjir di musim kemarau."Karena itu saya menghimbau, baik masyarakat atau pejabat pemerintah daerah, untuk sama-sama menjaga kawasan hutan alam," kata Kaban dalam seminar di Pakanbaru awal Desember lalu.Sesuai dengan peraturan, pungutan pajak dari dana DR dan PSDH akan kembali ke daerah masing-masing. Di Riau, misalnya, entah sudah berapa miliar rupiah dana reboisasi dikembalikan pemerintah pusat dengan harapan adanya penghijaun kembali. Hasilnya, dana untuk perbaikan hutan itu malah tidak jelas kemana.Hampir semua proyek reboisasi di seluruh kabupaten di Riau bermasalah. Uang untuk memperbaiki kondisi hutan ramai-ramai dikorupsi. Kegiatan haram ini diduga kuat melibatkan sejumlah kepala daerah.Beberapa laporan LSM menunjukkan pelaksanaan proyek reboisasi amburadul. Ironisnya, para penegak hukum belum mampu menyeret pelaku ke pengadilan. Padahal, proyek reboisasi ini telah menjadi perbincangan hangat, mengingat banyaknya uang rakyat yang lenyap.Seyogyanya berdasarkan petunjuk tekhnis Tata Usaha Hasil Hutan, Dana Reboisasi digunakan sebagai dana untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan dan lahan serta kegiatan pendukungnya yang dipungut dari pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan dari hutan alam berupa kayu. Setiap hasil hutan kayu yang berasal dari hutan alam, yang diproduksi pemegang izin berkewajiban menyetor dana reboisasi ke bank yang telah ditunjuk pemerintah. Pengenaan besarnya dana reboisasi itu sendiri pun berbeda, sesuai dengan jenis dan atau sortimen masing-masing kayu yang diproduksi.Tujuannya tidak lain, untuk memulihkan keadaan hutan yang kritis dan penghijauan juga untuk memanfaatkan lahan-lahan tidur. Sebagai sasaran utamanya juga untuk meningkatkan tarap perekonomian rakyat, terutama terhadap masyarakat yang berdomisili di daerah tempat diadakannya rehabilitasi lahan dan hutan tersebut. Sehingga proyek ini pun sedikit terfokus pada jenis tanaman yang mampu mengangkat tarap hidup masyarakat seperti karet, jati, sagu, akasia dan jenis kayu pertukangan komersial lainnya.Pada tahun 2001, Riau mendapat kucuran Dana Alokasi Khusus-Dana Reboisasi (DAK-DR) sebesar Rp 81,6 miliar. Kemudian pada tahun 2002 sebesar Rp 113 miliar. Sedangkan tahun 2003 sebesar Rp 100 miliar. Dari sisi jumlah dana, memang cukup fantastis sekali. Di sisi lain kalau dilihat secara langsung ke lokasi sangat pesimis bila hutan bisa dihijaukan kembali. Sebab, nyaris di lokasi yang seharusnya dilakukan reboisasi hanya ditanami beberapa pohon saja.Misalnya saja, pola pembuatan hutan rakyat akasia, ini dominan penyelewengannya pada luas lahannya. Dalam Lembaran Kerja (LK) jelas terlihat 1000 hektar yang mesti ditanam. Namun realisasinya tak sampai 100 hektar.Selain itu setiap proyek, nyaris semua papan plangnya tidak memuat jumlah dana proyek. Sama halnya dengan peta kerja, jarang sekali pelaksana proyek reboisasi ini yang mau transparan dengan peta lokasi yang sebenarnya. Mungkin mereka takut dibandingkan antara luas lahan menurut fisik dengan luas lahan berdasarkan peta kerjanya.Kemudian, penyelewengan itu gampang dilakukan pejabat pelaksana proyek reboisasi karena lemahnya pengawasan terhadap pelaksanaan proyek itu sendiri. Hal ini disebabkan karena sulitnya mengakses informasi dari instansi yang terkait, seperti Dinas Kehutanan sendiri. Dinas Kehutanan sangat tertutup dengan informasi apalagi yang berkenaan dengan dana reboisasi. Begitu juga dengan kepala daerah yang enggan untuk transparan masalah proyek ini.
(diks/)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini