Marhaban Presiden Lebaran

Kolom Denny Indrayana

Marhaban Presiden Lebaran

- detikNews
Jumat, 25 Jul 2014 13:05 WIB
Marhaban Presiden Lebaran
Jakarta - Alhamdulillah, pada 22 Juli lalu, di ujung Ramadhan jelang lebaran, penetapan hasil Pemilihan Presiden secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) berjalan dengan lancar. Dinamika yang mengiringinya masih dalam batas yang wajar, itulah warna-warni yang membuktikan makin kuatnya dan dewasanya demokrasi kita. KPU menetapkan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla selaku Presiden dan Wakil Presiden Terpilih periode 2014 – 2019.


Tidak Ada Alternatif

Secara hukum tata negara, penentuan presiden terpilih hanya dapat dilakukan melalui dua cara: (1) oleh penetapan KPU, atau (2) oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Meskipun, untuk cara kedua itupun tetap kemudian harus dikuatkan juga dengan penetapan KPU. Tidak ada cara lain, tidak ada jalan alternatif di luar kedua cara tersebut. Bagi capres yang kalah, hanya tersedia dua pilihan: menerima keputusan KPU atau mengajukan keberatan ke MK. Tidak ada pilihan lain, misalnya dengan mengambangkannya: menolak keputusan KPU, tetapi juga tidak mengajukan sengketa hasil pilpres ke MK.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tidak pula dibuka pilihan untuk tidak mengajukan sengketa hasil pilpres ke MK, dan lebih memilih 'menarik diri dari proses yang sedang berlangsung'. Kalimat dalam tanda kutip adalah pernyataan capres Prabowo menyikapi penghitungan suara di KPU pada 22 Juli lalu. Tidak jelas benar apa maksud 'menarik diri' tersebut. Sempat beredar pemaknaan bahwa 'menarik diri' itu adalah 'mengundurkan diri' dari pencalonan pilpres. Jika benar demikian, tentu timbul masalah hukum yang perlu dicermati.

Pasal 22 ayat (2) UU Pilpres dengan tegas mengatur, “Salah seorang dari Pasangan Calon atau Pasangan Calon dilarang mengundurkan diri terhitung sejak ditetapkan sebagai Pasangan Calon oleh KPU”. Karena itu, salah satu syarat yang diserahkan bakal pasangan capres kepada KPU menurut Pasal 15 huruf f UU Pilpres adalah, “surat pernyataan dari bakal Pasangan Calon tidak akan mengundurkan diri sebagai Pasangan Calon”. Lebih jauh, jika ada capres yang tetap mengundurkan diri, maka Pasal 241 dan 242 UU Pilpres mengatur bahwa pengunduran diri demikian dapat dijerat sebagai tindak pidana pilpres yang diancam dengan hukuman penjara 2 sampai 6 tahun, dan denda 25 hingga 100 miliar Rupiah.

Kalaupun yang dimaksud 'menarik diri dari proses yang sedang berlangsung' itu bukanlah mengundurkan diri sebagai capres, tetapi hanya menarik keikutsertaan dari proses penghitungan di KPU, maka penarikan demikian tidak dapat menjadi alasan penundaan ataupun menyoal keabsahan penetapan hasil penghitungan suara oleh KPU. Kehadiran dan persetujuan seluruh saksi dalam proses rekapitulasi suara bukanlah syarat sah pengambilan keputusan. Berdasarkan UU Pilpres, Berita Acara dalam setiap tingkatan penghitungan suara tetap sah, meskipun tidak ditandatangani oleh saksi dari pasangan capres yang tidak hadir ataupun walk out. Untuk rekapitulasi penghitungan suara secara nasional, Pasal 155 ayat (3) UU Pilpres mengatur bahwa berita acara rekapitulasi hasil penghitungan suara dan sertifikat rekapitulasi cukup ditandatangani oleh anggota KPU dan saksi dari pasangan capres yang hadir.

Sengketa Hasil di MK

Jika penetapan capres terpilih oleh KPU telah melalui proses yang akuntabel, tidak mengajukan sengketa hasil pilpres ke MK tentu adalah langkah yang bijak dan ksatria. Namun, mengajukan keberatan ke MK adalah hak konstitusional yang juga dijamin oleh UUD 1945 dan UU Pilpres. Yang pasti, hanya forum MK yang tersedia untuk mengajukan keberatan terkait keputusan KPU. Tidak ada alternatif lain, apalagi langkah non-hukum (politik). Tidak pula misalnya mengajukan gugatan atas putusan KPU itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Apalagi, UU PTUN sendiri mengatur, penetapan hasil pemilu oleh KPU bukanlah obyek sengketa tata usaha negara. Sengketa hasil pilpres adalah kompetensi absolut MK, dan tidak ada forum pengadilan lain manapun yang berwenang menyelesaikannya.

Jika pengajuan sengketa ke MK itu terjadi, presiden terpilih baru akan hadir paling lambat pada tanggal 24 Agustus 2014, demikian jadwal pelaksanaan pilpres yang diatur dalam Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2014. Sebaliknya, dengan alasan apapun, jika hingga batas akhir 25 Juli tidak ada keberatan yang diajukan ke MK, maka Indonesia sudah memiliki Presiden terpilih definitif sejak 26 Juli 2014.

Secara lebih detail, Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2014 mengatur jadwal perselisihan hasil pilpres di MK menjadi: Tiga hari persiapan pengajuan perselisihan hasil pilpres (23 – 25 Juli); Empat belas hari kerja penyelesaian perselisihan hasil Pilpres (4 – 21 Agustus); dan Penetapan hasil pilpres oleh KPU pasca putusan MK (22 – 24 Agustus). Dari jadwal demikian, MK sudah harus mengeluarkan putusan paling lambat pada tanggal 21 Agustus 2014.

Dalam waktu yang sangat singkat tersebut (14 hari kerja), bukanlah suatu hal yang mudah untuk membuktikan adanya kesalahan dan kecurangan penghitungan atas lebih dari 8 juta suara, yang merupakan selisih suara antara pasangan Prabowo – Hatta dan Jokowi – Jusuf Kalla. Bahkan, salah satu syarat pengajuan keberatan ke MK adalah hanya untuk hasil penghitungan suara yang mempengaruhi penentuan terpilihnya capres (Pasal 201 ayat (2) UU Pilpres). Karena itu, dalam banyak putusan Pilkada atapun Pilpres, MK juga mensyaratkan adanya kecurangan yang sifatnya Sistematis, Terstruktur dan Masif (STM) untuk diterimanya keberatan yang diajukan.
Artinya, terbuktinya kecurangan saja bukan berarti penetapan capres terpilih KPU otomatis dibatalkan. Bisa saja kecurangan terjadi, namun karena tidak bersifat STM, atau tidak signifikan sehingga tidak mempengaruhi hasil penghitungan suara, maka putusan MK tetap menolak keberatan yang diajukan capres yang kalah.

Akhirnya, apapun keputusan MK harus dihormati oleh kita semua dan dipatuhi melalui penetapan KPU. Tidak ada lagi proses lain yang tersedia untuk menyoal putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Mari berdoa agar proses pilpres ini segera selesai, dan kita kembali membuktikan bahwa demokrasi kita semakin matang. Dalam suasana jelang Idul Fitri, semoga kita segera bisa mengucapkan selamat datang, Marhaban Presiden Lebaran.

*) Denny Indrayana, Wakil Menteri Hukum & HAM Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

(asy/asy)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads