4 Ahli BMKG yaitu Wido Hanggoro, Daniel Hutapea, Asteria S Handayani dan Edvin Aldrian mencoba menjelaskan fenomena tersebut dalam artikel berjudul 'Suhu Jakarta Turun Ekstrim Hingga 9 Derajat dalam Sehari' yang dimuat di website BMKG.go.id dan dikutip detikcom, Rabu (23/7/2014).
Keempat ahli itu memaparkan, pada tanggal 13 Juli 2014 Jakarta mengalami penurunan suhu drastis hingga mencapai suhu 23,6 derajat Celcius dari sekitar 31,2 derajat Celcius. Fenomena ini langka terjadi, terutama di wilayah DKI Jakarta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penurunan suhu tertinggi tercatat di stasiun meteorologi Curug. Penurunan suhu di kawasan ini mencapai 9,2 derajat Celcius. Akibatnya suhu di kawasan ini pada pukul 13.00 WIB hanya mencapai 23 derajat Celcius, padahal biasanya pada jam yang sama suhu di kawasan ini mencapai 31 derajat Celcius.
Dampak Cold Front Australia
Fenomena penurunan suhu ekstrem pada tanggal 13 Juli 2014 merupakan dampak penurunan suhu udara ekstrem di timur dan tenggara Australia, tepatnya di sekitar Queensland, pada tanggal 12 Juli 2014 serta kedatangan cold front yang meluas di wilayah barat benua Australia.
Seorang pengamat meteorologi dari Badan Meteorologi Australia mencatat suhu pada pukul 07.00 WIB waktu Brisbane mencapai 3.3 derajat Celcius, yang mana biasanya rata-rata suhu tahunan yang terjadi adalah 12 derajat Celcius. Brisbane terakhir kali mengalami penurunan suhu ekstrem demikian sekitar 103 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 28 Juli 1911.
Para ahli itu menyatakan, pergerakan semu harian matahari mengakibatkan seakan-akan matahari terlihat berada di belahan bumi utara (BBU) pada bulan Juli setiap tahunnya. Hal tersebut berakibat pada perbedaan tekanan udara yang terjadi antara wilayah BBU yang cenderung mempunyai tekanan udara yang lebih rendah dibandingkan dengan wilayah belahan bumi selatan (BBS).
Perbedaan tekanan ini menyebabkan secara umum pola pergerakan massa udara akan bertiup dari selatan ke wilayah utara pada bulan tersebut. Pada kondisi normal, massa udara dari selatan/tenggara tersebut akan menemui hambatan tekanan udara cukup rendah di sekitar selatan NTT sehingga tidak memberi pengaruh signifikan terhadap wilayah Indonesia. Namun pada tanggal 10-13 Juli 2014 tersebut, daerah bertekanan rendah tersebut tidak terbentuk di selatan NTT.
Selain itu angin dari selatan/tenggara pada hari Minggu (13/7) kecepatannya cukup kencang hingga di atas 20 knot. Dari data angin tersebut terlihat peran dari konvergensi di daerah barat Sumatera atau wilayah Bengkulu yang menyebabkan kencangnya angin yang menuju Jawa Barat dari selatan.
Massa udara yang dibawa dari belahan bumi bagian selatan di Australia menuju belahan bumi bagian utara melewati wilayah Indonesia dan mempunyai karakteristik massa yang dingin dan kering. Hasil pengamatan citra satelit MTSAT untuk parameter water vapour menunjukkan adanya massa udara kering dari Australia yang bertiup masuk ke wilayah Indonesia. Puncaknya terjadi pada tanggal 13 Juli 2014, di mana massa udara kering tersebut seakan-akan mendorong uap air ke sekitar selatan pulau Jawa.
Pengamatan satelit tersebut secara signifikan memperlihatkan bahwa pergerakan massa udara kering dari benua Australia memang bertiup memasuki wilayah Indonesia dan memberi pengaruh pada cuaca saat itu. Pengaruh pergerakan massa udara kering tersebut dirasakan di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
"Menimbang dari citra satelit dan temperatur relatif di beberapa stasiun pengamatan BMKG tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa penurunan suhu ekstrem di Indonesia merupakan dampak dari cold front Australia. Cukup menarik untuk diamati, bahwa seperti halnya di Australia, fenomena ini diperkirakan akan berlangsung hingga beberapa hari ke depan," tulis para ahli tersebut.
(nal/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini