Quick Count Puskaptis dan IRC Dinilai Membingungkan

Quick Count Puskaptis dan IRC Dinilai Membingungkan

- detikNews
Rabu, 16 Jul 2014 17:16 WIB
Quick Count Puskaptis dan IRC Dinilai Membingungkan
Jakarta - Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Indonesia (UI) Ade Armando melihat ada keanehan ketika melihat quick count oleh empat lembaga survei yang hasilnya berbeda dengan quick count delapan lembaga yang selama ini sudah dikenal kredibilitas dan presisinya.

Dia mencontohkan dua dari empat lembaga survei yang hasil hitungan cepatnya berbeda yakni Puskaptis dan Indonesia Research Centre (IRC).

“IRC, dia adalah lembaga yang dimiliki oleh MNC, dia enggak masuk di asosiasi manapun," ucapnya. Kemudian, ada yang menarik, bagaimana seperti disampaikan oleh Prof Hamdi Muluk, bahwa kantor Puskaptis ini nggak ada. Kan nggak bisa dibayangkan itu kan,” ungkap Ade Armando dalam sebuah diskusi di YLBHI, Jakarta Pusat, Rabu (16/7/2014).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ade menyoroti dinamika terakhir sebagaimana diberitakan pasca Poltracking mengungkap alasan pembatalan kontrak penayangan quick count dengan tvOne. Ade mempertanyakan kontrak Puskaptis dengan tvOne yang kabarnya dibuat di last minute.

“Bagaimana melakukan quick count, kalau di hari terakhir saja kontraknya enggak ada. Itu kan sudah sulit dibayangkan bagaimana persiapannya,” ujarnya.

Menurut Ade, jika quick count dilakukan dengan benar, maka hasil prediksinya tak akan jauh dari hasil akhir KPU.

“Kewajiban kita mencari tahu mana yang salah dan mana yang benar. Tidak bisa kedua hasil yang berbeda itu benar semua. Ini penting sekali untuk dibuktikan. Karena itu, media massa tolong bantu sampaikan ke publik apa yang sebenarnya terjadi,” ujarnya.

Dalam kesempatan tersebut, Ade Armando yang merupakan mantan anggota KPI juga menyampaikan sikapnya yang tidak setuju kalau KPI melarang penayangan quick count. Apalagi melarang RRI melakukan dan menyiarkan hasil quick count.

“Yang dilarang itu kalau bohong. Kalau ada Komisi I sampai memanggil RRI itu berlebihan dan patut dipertanyakan ada apa. Kalau KPI menegur RRI kita jadi curiga. Ini negara demokrasi, kita percaya pada UU Pers. Kecuali kalau menyiarkan kebohongan atau fitnah, boleh KPI melarang,” jelasnya.

(trq/trq)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads