"Solusinya harus ke asosiasi yang menaungi lembaga survei yang menilai membuka metode dan memutuskan apakah quick count sesuai standar metodologi. Kalaupun salah tidak masalah, tapi harus disampaikan ke publik," kata peneliti LSI, Adjie Alfaraby saat dihubungi Jumat (11/7/2014).
Menurutnya ada dua kemungkinan yang membuat quick count yang dilaksanakan Puskaptis, Jaringan Suara Indonesia (JSI), Lembaga Survei Nasional, dan IRC (Indonesia Research Center) berbeda dengan 8 lembaga survei lain yang memenangkan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena itu, untuk membedah quick count, empat lembaga tersebut harus berani diaudit oleh dua asosiasi lembaga survei yakni Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) dan Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (Aropi).
"Saya dengar dari teman pengurus Aropi mereka sudah melakukan rapat terbatas membahas perkembangan terakhir terkait perbedaan quick count. Dalam waktu dekat akan melakukan pemanggilan terhadap LSN sebagai anggota Aropi," sebut Adjie.
Menurutnya audit pelaksanaan quick count lebih penting dibanding tantangan Puskaptis agar lembaga survei membubarkan diri bila hasilnya berbeda dengan KPU.
"Semua lembaga survei harus bertanggung jawab secara moral. Kita siap membuka data dan metode yang digunakan pada proses quick count. Kita siap bertanggung jawab dan lembaga yang lain harus bersikap sama," harap Adjie.
Delapan lembaga survei penyelenggara quick count yang mencatat kemenangan Jokowi-JK, yaitu SMRC, LSI Denny JA, CSIS-Cyrus Network, Litbang Kompas, Indikator Politik, RRI, Populi Center, dan Poltracking.
Adjie meyakini hasil quick count kedelapan lembaga ini akan sama dengan penghitungan KPU.
"Kita yakini sama, bila ada perbedaan dengan KPU hitungannya plus minus 1 persen," katanya.
(fdn/trq)











































