"Kita kolaborasi antara peneliti Indonesia, saya, dengan peneliti dari Louisiana State University Amerika Serikat dan peneliti dari Museum Victoria Australia," kata peneliti LIPI Anang Achmadi.
Anang menceritakan kisah perjalanannya menemukan tikus air yang diklasifikasikan sebagai genus baru dengan nama Waiomys mamasae di kantornya, Jl Raya Bogor KM 46, Cibinong, Jawa Barat, Jumat (4/7/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita bekerja dari 2010, spesifik mempelajari jenis tikus di Indonesia dan sebaran juga tingkat evolusinya. Lokasi di Sulawesi sudah didatangi semua, terakhir di Gorontalo," kata Anang.
Mereka memilih hutan di ketinggian karena struktur hutannya masih sangat alami. Kemudian penelitian terkait mamalia pengerat ini terakhir dilakukan di Indonesia beberapa dekade yang lalu, alhasil tim mamalia ini dibentuk dengan dana dari sponsor.
"Terakhir tahun 1978 dan hanya berlangsung selama 3 tahun. Tapi hanya terkonsentrasi di Palu dan sekitarnya," ujar Anang.
Pada tahun pertama, tim ini belum menemukan tikus jenis baru. Namun pada tahun 2011, tim menemukan tikus ompong, spesies baru yang hanya ada di Indonesia. Tikus ompong hanya memiliki dua gigi seri di bagian depan untuk memotong-motong makanannya yaitu cacing.
"Tikus ompong itu susunan evolusinya dari tikus yang bergigi lengkap sangat urut. Hanya ada di Indonesia," kata Anang.
Penemuan tikus ini membakar semangat tim peneliti itu. Mereka lalu kembali lagi ke Sulawesi pada pertengahan 2012. Mereka menuju dataran tinggi di Mamasa, Sulawesi Barat.
Tim ini berangkat dengan peralatan kemah mereka. Dibantu warga setempat, tim ini menyusuri hutan tropis dataran tinggi Mamasa yang masih perawan. Lantai hutan dipenuhi lumut, dan pohon-pohon besar membentuk kanopi, sebuah habitat ideal untuk kemunculan spesies baru.
"Proses ketemunya Waiomys mamasae ini sangatlah beruntung, karena dua kali perjalanan tidak berhasil," ujar Anang.
Namun di hari-hari terakhir perjalanan kedua itu, warga setempat yang membantu mereka menyebut 'balau wai' dan menunjukkan sebuah sungai yang sangat jernih. Ternyata tim dibawa oleh warga lokal ke tempat tikus air itu berada.
"Balau wai dinamakan oleh penduduk setempat. Balau itu artinya tikus, wai itu air, bahasa setempat," ujar peneliti yang tertarik pada semua jenis mamalia pengerat itu.
"Hari terakhir pasang perangkap dan orang lokal yang membantu menyerahkan spesimen ini. Kita dapatkan di sungai itu, sisi kirinya hutan primer tapi sisi kanannya sejauh puluhan meter itu hutan yang sudah rusak karena pembalakan," tambah Anang.
Penemuan ini membuat tim sangat senang walau mereka belum yakin tikus itu spesies baru atau genus baru. Hal ini karena di Papua dan Australia juga ada tikus air. Sehingga tikus air karnivora itu dibawa ke Australia untuk penelitian lebih lanjut.
"Kita diskusi dengan kolega, ini sesuatu yang baru. Kita berpikir ini spesies, bukan level genus baru, spesimen dibawa dikuliti diambil kulitnya, prosesnya di Museum Victoria," ujar Anang.
"Dianalisis molekuler genetiknya. Saat kita coba ke spesimen dengan jenis yang sudah diketahui, ternyata memang tidak ada referensi yang valid. Sampai di Chicago AS, mereka sepakat dengan kita, ini genus baru, bukan cuma spesies," tambahnya.
Hasil ini menunjukkan hutan Indonesia yang masih berada di dalam ancaman memiliki potensi besar untuk beragam spesies baru, tidak hanya tikus. "Saat ini yang banyak ditemukan spesies baru itu tikus," tutup Anang.
(vid/ndr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini