Nurmalawati (45) yang masuk di lembaga adat, bertindak bak penegak hukum. Ia menelisik kasus, mencari kesaksian dan barang bukti, lalu memberi rekomendasi solusi. Bagaimana ia bisa melakukannya tanpa bekal ilmu?
"Hanya dari pengalaman, tidak ada sekolah seperti penyidik atau intel polisi," kata Mala, panggilan Nurmawalawati, setengah bercanda ketika ditemui detikcom di rumahnya, desa Masjid Ulim Tunong, Kecamatan Ulim, Pidie Jaya, Aceh, Selasa (1/7/2014).
Pengalaman dari mana? Orangtua Mala ternyata kepala desa. Selama menjabat, orangtuanya pernah menyelesaikan semua perkara desa tanpa campur tangan aparat penegak hukum. Dari situlah, Mala belajar penyelesaian kasus hukum.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kadang ada juga kasus yang tidak sampai dibawa ke meunasah sudah selesai seperti perselihan antar warga," ungkapnya.
Pernah suatu ketika sebelum Mala menjabat, tuha peut gampong (lembaga adat kampung) menangani perkara utang piutang. Di meunasah, kedua pihak yang terlibat dipanggil untuk digelar musyawarah mencari penyelesaian. "Bukan selesai masalah di sana tapi tambah besar, karena ribut lagi sampai di meunasah," aku Mala.
Di awal penanganan, Mala tidak langsung mempertemukan pihak yang berkasus. Ia terlebih dulu menemui salah satu pihak yang menurutnya sulit diajak bicara. Setelah mendapat keterangan dari satu pihak, baru kemudian menemui pihak lainnya.
"Saya membaca karakter orang yang berkasus dulu sebelum menyelesaikannya. Kalau orangnya keras, kita harus lembut, jika dia lembut, kita harus lebih lembut lagi," kata Mala.
Mala ditinggal mati suaminya pada 2004 silam. Sejak itu, ia menghidupi 7 anaknya seorang diri. Pada tahun 2010, ia terpilih sebagai salah seorang anggota majelis adat tingkat kecamatan. Tapi tidak dibayar. Karena itu, ia harus bekerja serabutan. Kadang menjadi buruh cuci pakaian, kadang pula jadi buruh tani.
(try/try)