"Saya pernah mengingatkan ke Jikul (panggilan akrab seniman Solo untuk Wiji Thukul), 'Kul, iki kowe wis kebablasen nyemplung wilayah politik / Kul, ini kamu sudah terlalu jauh mencebur di wilayah politik praktis.' Mengapa saya saat itu merasa perlu mengingatkannya, karena saya sangat tahu Thukul. Dia tidak paham betul dengan persoalan yang dihadapinya itu," ujar penyair Sosiawan Leak, Selasa (1/7/2014).
Leak mengatakan, bukan hal yang salah penyair bicara tentang masalah politik dalan karyanya, namun tidak menjadi partisan. Bagi Leak, setelah seseorang menjadi pihak atau partisan maka perspektif karyanya menjadi sempit. Hal itulah yang dia sampaikan kepada Thukul sejak awal dan Leak merasa menemukan hal itu setelah Thukul akhirnya memilih aktif dalam politik praktis.
"Setelah menjadi partisan maka karyanya juga partisan. Organisasi politik akan mempersempit orientasi, pikiran, dan langkah seorang seniman. Secara tidak sadar wilayah Thukul memasuki itu. Karya dia setelah itu nyaris habis, tidak ada pendalaman, tulisannya menjadi bertendensi, disama-samakan, disejalan-sejalankan dengan pandangan politik organisasi yang menaunginya. Dia telah terkorosi tanpa dia menyadarinya," lanjut Leak.
Kelebihan karya puisi Thukul, lanjut Leak, adalah kesederhanaan pengucapannya. Kritik-kritik sosial Thukul yang lugu justru terasa menyengat ketika Thukul masih steril dari dunia politik. Kesahajaan diksinya itu dinilai telah terkontaminasi kepentingan politik ketika dia mulai aktif di pergerakan dan bergabung dengan Jaker dan PRD. Diksi Thukul mulai dinilai terlalu dibuat-buat.
"Dia telah memoles-moles dengan kepentingan organisasinya. Itulah yang disebut pencitraan. Puitika yang dipoles seperti itu menjadi tidak murni. Bahkan perlu dipertanyakan apakah polesan seperti itu juga estetika," ujar Leak.
"Lagi pula sebetulnya Jikul tak paham sepenuhnya ketika dia mulai tertarik dan menceburkan diri pada dunia politik praktis. Sistem politik itu kan bertumbuh dan Jikul tidak paham ini. Belakangan setelah semua terbuka, kan kita juga tahu mana dari mereka yang dulu kelihatan heroik itu yang benar-benar berjuang. Di situlah yang Jikul tak paham dan telah menyeretnya pada situasi tak pasti seperti sekarang," lanjut penyair yang aktif dari panggung ke panggung tersebut.
Lain Leak, lain lagi dengan Halim HD. Halim adalah pekerja jaringan kesenian dan kebudayaan yang tinggal di Solo yang turut andil besar dalam proses kreatif Thukul sebagai penyair. Halim mengaku tidak pernah mengingatkan Thukul secara langsung ketika penyair itu mulai tertarik dunia pergerakan. Selain karena menilai Thukul sudah bisa mengerti konsekuensi dari pilihan sikap, saat itu Halim dan Thukul juga sudah tidak seakrab seperti ketika awal-awal Thukul berproses di dunia sastra.
"Agak lama tidak bertemu karena saya sempat tinggal di Amerika. Sepulang saya dari Amerika, hubungan pribadi saya dengan Thukul sudah tidak begitu dekat meskipun masih sering tegur sapa dan saling mengunjungi. Ketika itu saya mulai melihat ada perbedaan pandangan antara saya dengan Jikul dalam menyikapi realitas sosial dan karya sastra. Ini berbeda dengan kesadaran politik yang ada pada kami sejak awal dia berproses sekitar tahun 1982-1983," ujar Halim.
Salah satu yang dicontohkan Halim adalah Thukul menjadi reaksioner. Setiap melihat ketidakadilan, Thukul selalu meresponnya dengan perlawanan frontal. Ketika kawasan kampung tempat tinggalnya tercemar limbah pabrik misalnya, Thukul langsung menggalang aksi massa. Halim menilai saat itu Thukul telah masuk dalam terminologi politik praktis.
"Saya tetap menyarankan agar dia melawan dengan tulisan. Dengan tulisan dia bisa mengajak orang untuk memikirkan persoalan yang dihadapi itu. Atau dia mengajak anak-anak di sekitarnya sebagai benih-benih subyek untuk membuat karangan tentang lingkungan sekitarnya. Tapi Jikul sudah tidak seperti itu lagi. Dia menyebut saya sebagai sosok elitis. Bahkan dia sering menyebut saya sebagai pengecut karena tidak berani menggelar aksi demonstrasi," kenang Halim.
(mbr/mad)