"Jelas itu nggak pantas. Dalam semua ukuran apapun, dukungan fanatisme terhadap calon mengatakan orang sinting itu tidak pantas. Itu tidak hanya membuat marah Jokowi karena pada waktu itu Jokowi berkunjung ke pesantren," kata pakar Psikologi Politik dari Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk kepada wartawan, Selasa (1/7/2014).
Jokowi dipandang Hamdi paham persis pengajuan hari santri nasional itu perlu persetujuan DPR. Jadi Fahri mestinya tak perlu menolak dengan bahasa sangat keras sampai menyebut istilah sinting.
"Fahri menanggapi dengan kasar tanpa membaca konteks itu. Dia menyerang Jokowi-JK membabi buta, maka keluarlah kalimat sinting seperti itu," kata Hamdi.
Barangkali Fahri lupa dirinya adalah anggota dewan yang terhormat. Sebagai pejabat negara, apalagi dipilih langsung oleh rakyat, mestinya Fahri lebih negarawan.
"Kita tidak bisa menghina orang dengan label yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, seperti gila, sinting, tidak waras. Saya tidak tahu apakah ini bisa dipidanakan atau tidak. Tapi kalimat ini sangat tidak pantas diucapkan anggota dewan yang terhormat," kata Hamdi.
"Di mana-mana legislator itu kalau mengeluarkan statement kan sebagai negarawan. Jadi artinya legislator itu harus bermimpi dia akan menjadi negarawan. Nah kalau kualitasnya kayak gini di mana kenegarawanannya. Ya sebenci-bencinya dengan lawan politik ya tidak pantas sama sekali merendahkan derajad sendiri," tegas Hamdi.
Kicauan 'Jokowi sinting' itu dilontarkan Fahri melalui akun twitternya @fahrihamzah pada 27 Juni 2014 sekitar pukul 10.40. "Jokowi janji 1 Muharam hari santri. Demi dia terpilih, 360 hari akan dijanjikan ke semua orang. Sinting!" kicau Fahri.
Kicauan Fahri itu menanggapi janji Jokowi atas tuntutan santri di Pondok Pesantren Babussalam, Banjarejo, Malang, Jawa Timur, agar menjadikan 1 Muharam sebagai hari santri nasional. Timses Jokowi-JK melaporkan Fahri ke Bawaslu, dan kini pengawas Pemilu bersiap memanggil Fahri dalam waktu dekat.
(van/nrl)