Tentang Wiji Thukul, Sang Penyair yang Diburu Orde Baru

Tentang Wiji Thukul, Sang Penyair yang Diburu Orde Baru

- detikNews
Selasa, 01 Jul 2014 13:00 WIB
Tentang Wiji Thukul, Sang Penyair yang Diburu Orde Baru
Jakarta - Nama Wiji Thukul kembali jadi perbincangan. Adalah aktivis 98 Andi Arief yang menguak testimoni baru soal kepergiannya. Andi yakin, Thukul tidak ditangkap dan masih hidup. Bagaimana kisah hidup Thukul?

Sejumlah catatan sejarah sudah banyak didokumentasikan soal kehidupan Thukul. Dia lebih dikenal sebagai penyair dengan karya-karya 'ganas'-nya pada pemerintah Orde Baru kala itu. Tak heran, banyak yang meyakini dia diculik oleh rezim Soeharto dan tak jelas kini nasibnya.

Di tengah upaya pencarian selama 10 tahun terakhir, pernyataan dari Andi Arief cukup menarik untuk ditelusuri. Namun juga butuh penyelidikan lebih lanjut. Akankah misteri soal keberadan Thukul terkuak? Waktu yang akan menjawabnya.

Berikut sejumlah catatan tentang Thukul yang dirangkum dari berbagai sumber:


Siapa Thukul?

Wiji Thukul lahir pada tanggal 26 Agustus 1963. Dia bernama asli Widji Widodo, lahir di kampung Sorogenen, Solo, Jawa Tengah.

Thukul adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ia lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya adalah seorang penarik becak, sementara ibunya terkadang menjual ayam bumbu untuk membantu perekonomian keluarga.

Pada Oktober 1989, Thukul menikah dengan Siti Dyah Sujirah alias Sipon yang saat itu berprofesi sebagai buruh. Pasangan Thukul-Sipon dikaruniai anak pertama Fitri Nganthi Wani, kemudian pada tanggal 22 Desember 1993 anak kedua mereka lahir yang diberi nama Fajar Merah.

Siapa Thukul?

Wiji Thukul lahir pada tanggal 26 Agustus 1963. Dia bernama asli Widji Widodo, lahir di kampung Sorogenen, Solo, Jawa Tengah.

Thukul adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ia lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya adalah seorang penarik becak, sementara ibunya terkadang menjual ayam bumbu untuk membantu perekonomian keluarga.

Pada Oktober 1989, Thukul menikah dengan Siti Dyah Sujirah alias Sipon yang saat itu berprofesi sebagai buruh. Pasangan Thukul-Sipon dikaruniai anak pertama Fitri Nganthi Wani, kemudian pada tanggal 22 Desember 1993 anak kedua mereka lahir yang diberi nama Fajar Merah.

Puisi dan Syair Kritis

Wiji sudah menulis puisi sejak awal 1980-an, dan kerap membacakan karya-karyanya di Taman Budaya Jawa Tengah di Solo. Dua kumpulan puisi pertamanya terbit pada 1984 secara terbatas, masing-masing 'Puisi Pelo' dan 'Darman dan Lain-lain'. Pada 1994, terbit buku kumpulan puisinya berjudul 'Mencari Tanah Lapang' dengan kata pengantar dari sosiolog dan mantan aktivis 66 Arief Budiman.

Pada 2000, penerbit Indonesia Tera dari Magelang mengumpulkan hampir semua puisi Wiji yang pernah terbit, dan diterbitkan kembali di bawah judul 'Aku Ingin Menjadi Peluru'. Dalam edisi cetak ulangnya, ditambahkan beberapa puisi Wiji yang ditulis dalam pelariannya sebagai 'buron politik' pemerintah Orde Baru. Salah satunya berjudul 'Baju Loak Sobek Pundaknya', sebuah puisi yang sangat sedih yang ditujukan untuk istrinya.

Yang terakhir, Majalah Tempo menerbitkan buklet 'Para Jendral Marah-marah' dalam edisi khusus Wiji Thukul yang beredar di pasaran Mei 2013 lalu. Buklet setebal 37 halaman yang merupakan bonus dari Tempo dengan judul sampul 'Teka-teki Wiji Thukul' itu memuat 49 buah puisi. Menariknya, sebagian besar dari puisi-puisi tersebut merupakan karya Wiji selama dalam pelariannya.

Naskah tersebut awalnya berupa manuskrip yang berada di tangan Wakil Ketua Komnas HAM Stanley Adi Prasetyo. "Puisi itu adalah pemberian Wiji Thukul kepadaku sesaat sebelum dia menuju pelarian berikutnya," ujar Stanley. Dia menerima naskah itu dalam tulisan tangan dengan pensil di atas kertas surat bergaris sebanyak 13 halaman bolak-balik.

Naskah yang berisi 21 puisi itulah yang kemudian menjadi bagian pertama dari buklet 'Para Jendral Marah-marah' ini. Secara keseluruhan, buklet ini terdiri dari 3 bagian. Dua bagian lagi masing-masing berisi puisi-puisi Wiji dalam bahasa Jawa (12 puisi), dan puisi-puisi 'lepas' (16 puisi) yang dihimpun dari berbagai sumber dan belum pernah dipublikasikan secara luas.

Wiji diburu penguasa Orde Baru di Jakarta karena aktivitasnya di panggung politik praktis, terutama di Jaringan Kerja Kesenian Rakyat, di bawah Partai Rakyat Demokratik. Dari puisi-puisinya, lahir slogan-slogan perlawanan yang sangat terkenal, seperti 'satu mimpi, satu barisan' dan 'hanya ada satu kata: lawan!' Dalam pelariannya sejak 1996, Wiji Thukul bersembunyi dengan berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Namanya masuk dalam daftar orang hilang pada tahun 2000.

Puisi dan Syair Kritis

Wiji sudah menulis puisi sejak awal 1980-an, dan kerap membacakan karya-karyanya di Taman Budaya Jawa Tengah di Solo. Dua kumpulan puisi pertamanya terbit pada 1984 secara terbatas, masing-masing 'Puisi Pelo' dan 'Darman dan Lain-lain'. Pada 1994, terbit buku kumpulan puisinya berjudul 'Mencari Tanah Lapang' dengan kata pengantar dari sosiolog dan mantan aktivis 66 Arief Budiman.

Pada 2000, penerbit Indonesia Tera dari Magelang mengumpulkan hampir semua puisi Wiji yang pernah terbit, dan diterbitkan kembali di bawah judul 'Aku Ingin Menjadi Peluru'. Dalam edisi cetak ulangnya, ditambahkan beberapa puisi Wiji yang ditulis dalam pelariannya sebagai 'buron politik' pemerintah Orde Baru. Salah satunya berjudul 'Baju Loak Sobek Pundaknya', sebuah puisi yang sangat sedih yang ditujukan untuk istrinya.

Yang terakhir, Majalah Tempo menerbitkan buklet 'Para Jendral Marah-marah' dalam edisi khusus Wiji Thukul yang beredar di pasaran Mei 2013 lalu. Buklet setebal 37 halaman yang merupakan bonus dari Tempo dengan judul sampul 'Teka-teki Wiji Thukul' itu memuat 49 buah puisi. Menariknya, sebagian besar dari puisi-puisi tersebut merupakan karya Wiji selama dalam pelariannya.

Naskah tersebut awalnya berupa manuskrip yang berada di tangan Wakil Ketua Komnas HAM Stanley Adi Prasetyo. "Puisi itu adalah pemberian Wiji Thukul kepadaku sesaat sebelum dia menuju pelarian berikutnya," ujar Stanley. Dia menerima naskah itu dalam tulisan tangan dengan pensil di atas kertas surat bergaris sebanyak 13 halaman bolak-balik.

Naskah yang berisi 21 puisi itulah yang kemudian menjadi bagian pertama dari buklet 'Para Jendral Marah-marah' ini. Secara keseluruhan, buklet ini terdiri dari 3 bagian. Dua bagian lagi masing-masing berisi puisi-puisi Wiji dalam bahasa Jawa (12 puisi), dan puisi-puisi 'lepas' (16 puisi) yang dihimpun dari berbagai sumber dan belum pernah dipublikasikan secara luas.

Wiji diburu penguasa Orde Baru di Jakarta karena aktivitasnya di panggung politik praktis, terutama di Jaringan Kerja Kesenian Rakyat, di bawah Partai Rakyat Demokratik. Dari puisi-puisinya, lahir slogan-slogan perlawanan yang sangat terkenal, seperti 'satu mimpi, satu barisan' dan 'hanya ada satu kata: lawan!' Dalam pelariannya sejak 1996, Wiji Thukul bersembunyi dengan berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Namanya masuk dalam daftar orang hilang pada tahun 2000.

Hilang Misterius

Dari catatan KontraS, sebanyak 13 orang hilang dan belum jelas nasibnya hingga kini. Mereka adalah: Yani Afri (Rian), Sonny, Deddy Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Wiji Thukul, Suyat, Herman Hendrawan, Petrus Bima Anugrah, Ucok Munandar Siahaan, Yadin Muhidin, Hendra Hambali dan Abdun Nasser.

Nama-nama di atas terdiri dari para aktivis dan pendukung Megawati Soekarnoputri setelah tragedi 27 Juli.

Setelah kerusuhan Mei 1998, nasib Thukul tak jelas. Diduga kuat, dia hilang diculik aparat. Semenjak bulan Juli 1996, Thukul memang sudah berpindah-pindah keluar masuk daerah dari kota satu ke kota yang lain untuk bersembunyi dari kejaran aparat. Dia tetap menulis puisi dalam pelariannya.

Berdasarkan investigasi Tempo, Thukul hilang setelah peristiwa bom tanah tinggi. Sejak itulah dia diyakini hilang. Sang istri, Sipon, pada tahun 2000 melapor ke KontraS. Hingga kini, nasib Thukul masih jadi misteri.

Pada tahun 2009, DPR merekomendasikan sejumlah hal terkait orang hilang ini. Namun belum ada yang terealisasi. Berikut rekomendasinya:

- Merekomendasikan presiden untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc;
- Merekomendasikan presiden serta segenap institusi pemerintah serta pihak terkait untuk segera melakukan pencarian terhadap 13 aktivis yang masih hilang;
- Merekomendasikan pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang.
- Merekomendasikan pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia.

Hilang Misterius

Dari catatan KontraS, sebanyak 13 orang hilang dan belum jelas nasibnya hingga kini. Mereka adalah: Yani Afri (Rian), Sonny, Deddy Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Wiji Thukul, Suyat, Herman Hendrawan, Petrus Bima Anugrah, Ucok Munandar Siahaan, Yadin Muhidin, Hendra Hambali dan Abdun Nasser.

Nama-nama di atas terdiri dari para aktivis dan pendukung Megawati Soekarnoputri setelah tragedi 27 Juli.

Setelah kerusuhan Mei 1998, nasib Thukul tak jelas. Diduga kuat, dia hilang diculik aparat. Semenjak bulan Juli 1996, Thukul memang sudah berpindah-pindah keluar masuk daerah dari kota satu ke kota yang lain untuk bersembunyi dari kejaran aparat. Dia tetap menulis puisi dalam pelariannya.

Berdasarkan investigasi Tempo, Thukul hilang setelah peristiwa bom tanah tinggi. Sejak itulah dia diyakini hilang. Sang istri, Sipon, pada tahun 2000 melapor ke KontraS. Hingga kini, nasib Thukul masih jadi misteri.

Pada tahun 2009, DPR merekomendasikan sejumlah hal terkait orang hilang ini. Namun belum ada yang terealisasi. Berikut rekomendasinya:

- Merekomendasikan presiden untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc;
- Merekomendasikan presiden serta segenap institusi pemerintah serta pihak terkait untuk segera melakukan pencarian terhadap 13 aktivis yang masih hilang;
- Merekomendasikan pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang.
- Merekomendasikan pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia.
Halaman 2 dari 8
(mad/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads