"Peristiwa '98 itu bukan penculikan. Kenapa? Karena penculikan itu berdiri sendiri. Sedangkan setelah ada PRD (partai rakyat demokratik-red) ini adalah suatu rangkaian dari satu peristiwa ke peristiwa lain. Ini peristiwa dari tahun '90 awal. Pada tahun '90 kita ditangkap lalu keluar, lalu ditangkap lalu keluar," jelas Andi Arief dalam wawancara, Senin (30/6/2014) malam.
Andi kemudian mengisahkan soal aksi pada '97 lalu. Puncaknya pada peristiwa 27 Juli yang merupakan bentrokan berdarah pengambilalihan markas PDI di Jl Diponegoro.
"Itu PRD yang kita akui, dan itu PRD dan SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia Demokrasi) yang pada itu kita lagi jaya-jayanya. Tidak ada aksi yang di bawah 5 ribu orang," terang dia.
Selain aksi 27 Juli, ada juga kasus pengerahan massa di Gambir yang membuat aktivis PRD semakin diincar. Andi menuturkan setelah itu para aktivis itu dicari-cari petugas keamanan,
"Untuk numbangin rezim itu cukup kumpulkan 50 ribu orang saja, tapi itu susah. Kita dipukul lalu ditangkap, kemudian pimpinan kita ditangkap, seperti Budiman (Budiman Sudjatmiko), Petrus dan semuanya. Habislah struktur kita, orang-orang nyalahin PRD, LSM juga nyalahin kita, kita dianggap sebagai kutu kupret. Kita punya pendapat lain bahwa peristiwa 27 juli dan peristiwa Gambir itukan munculnya dari peristiwa kumpul 1-2 orang dan itu berkembang," urainya.
Andi arief kemudian mengupas soal kasus Wiji Thukul, aktivis pro demokrasi dan koleganya di PRD yang hingga kini hilang tak jelas rimbanya.
"Dan Wiji Thukul itu pada kala itu nggak saya kasih tugas berat. Tugas dia hanya untuk penggandaan materi. Kenapa? Karena Thukul pada kala itu saya anggap bukan Thukul sebenarnya. dan menurut Dinda (salah satu tokoh 98-red), menganggap puisi Thukul itu sangat beda dengan puisi yang dulu. Puisinya lebih kontemplatif. Mungkin Thukul sudah berubah karena kita tidak kumpul bareng. Dia baru muncul ketika muncul Mega-Bintang (tahun 97-red) pada pemilu Juli 97," ucap Andi yang kini menjadi staf khusus presiden bidang bencana ini.
(rvk/ndr)