Angka ketergantungan penduduk (Dependency ratio) cenderung lebih rendah. Suplai tenaga kerja yang stabil diharapkan bisa memenuhi kebutuhan pasar kerja.
Hal itu diungkapkan peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Sukamdi, MSc, di auditporium PSKK UGM, Kamis (12/6/2014).
"Kondisi ini sangat menguntungkan, masyarakat akan memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dengan dana tabungan yang lebih banyak," katanya.
Dia mengatakan bonus demografi sangat erat kaitannya dengan perubahan komposisi penduduk menurut umur. Bonus demografi adalah kesempatan sekaligus tantangan yang harus direspon dan diantisipasi.
Saat bonus demografi kata dia, angka ketergantungan penduduk menjadi lebih rendah. Jika masyarakat pasca usia produktif 65 tahun ke atas dapat melakukan saving/menabung lebih banyak, maka tidak akan menjadi beban negara. Namun bila tidak kondisi tersebut akan menjadi beban negara.
Menurut dia, bonus demografi terjadi karena penurunan fertilitas dan mortalitas dalam jangka panjang yang mengakibatkan terjadi perubahan struktur umur penduduk. Penurunan fertilitas akan menurunkan proporsi anak-anak. Hal itu terlihat dari keberhasilan program KB. Adanya
penurunan kematian bayi juga akan meningkatkan jumlah bayi yang terus hidup dan mencapai usia kerja.
Namun kondisi bonus demografi ini tidak akan berlangsung lama. Sebab angka ketergantungan 10 tahun berikutnya atau pada tahun 2030 mencapai 46,9. Pada tahun 2035 akan meningkat lagi menjadi 47,3. "Sebagai gambaran, angka ketergantungan kita pada 2010 berada di angka 50,5," katanya.
Menurut Sukamdi pemerintah perlu memanfaatkan kesempatan bonus demografi ini dengan baik apabila ada penurunan angka kelahiran sampai tahun 2030 mendatang. Jika tidak bisa secara konsisten akan menurunkan angka kelahiran. "Kita akan kehilangan kesempatan emas ini," katanya.
Sementara itu guru besar Fakultas Geografi UGM, Prof Dr M. Baiquni menilai persoalan kependudukan memiliki dampak pada lingkungan. Kualitas SDM sangat menentukan tingkat kesadaran perilaku manusia dalam mengelola lingkungan.
Menurut dia jumlah penduduk besar dan tidak diikuti kualitas kesadaran lingkungan yang baik, yang terjadi adalah degradasi kerusakan lingkungan. Saat ini Indonesia begitu agresif mendorong pertumbuhan ekonomi, namun secara tidak sadar merusak lingkungan.
"Yang terpenting ke depan adalah peningkatan kualitas SDM karena angka Human Development Index (HDI) Indonesia saat ini menempati urutan ke-111 dari 182 negara. "Di ASEAN, kita berada di urutan keenam dari sepuluh negara," pungkas Baiquni.
(bgs/mpr)