"Bank besar maupun bank kecil bisa jadi pemicu krisis kalau persoalan dimulai karena masalah likuiditas," ujar Sigit Pramono memberi keterangan sebagai ahli meringankan untuk terdakwa eks Deputi Gubernur Bank Indonesia, Budi Mulya, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (19/5/2014).
Sigit menjelaskan pemerintah menerapkan penanganan dengan cara berbeda ketika terjadi krisis tahun 2008 dengan krisis 1998. Pada 2008, suntikan bantuan diberikan dengan sumber pendanaan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang berasal dari premis asuransi bank. Sedangkan tahun 1998, perbankan mendapat bantuan dengan dana yang bersumber langsung dari APBN.
"Dalam rangka menyelamatkan perekonomian pilihannya hanya dua, ditutup atau diselamatkan dalam kondisi krisis karena gagal bank," ujar Sigit menyebutkan dua opsi penanganan masalah perbankan.
Menurutnya, adanya bank gagal pada saat krisis global menerpa tahun 2008 bisa berdampak buruk terhadap perbankan nasional bila tidak ditangani.
"Bank gagal kalau tidak diberi bantuan BI, dia kalah kliring dan diputuskan ditutup akan menimbulkan kekhawatiran nasabah bank-bank lain dan akan menular dengan bank yang ukurannya sekelas dan di bawah," bebernya.
Indikator terjadinya krisis selain sisi makro juga didasarkan pada penilaian mikro di antaranya, kesulitan llikuiditas perbankan termasuknya turunnya kurs rupiah. "Kalau penarikan dana besar-besaran tidak bisa dikaitkan krisis atau tidak krisis," ujar komisaris independen Bank Central Asia ini.
Sigit menegaskan keputusan memberikan bantuan dengan fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) atau menyerahkan penanganan bank ke LPS untuk dibantu melalui penyertaan modal sementara (PMS) merupakan kewenangan penuh Dewan Gubernur (DG) BI.
"Kalau fasilitas disebut FPJP, posisinya, itu bukan bank yang mengajukan, tapi kebijakan BI untuk memutuskan membantu atau tidak," katanya.
(fdn/aan)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini