"Duet prabowo-ical memang "terkesan" akan menjadi kuat secara matematika politik, mengingat kedua partai dan kandidat menempati peringkat kedua dan ketiga secara elektabilitas. Keduanya juga dianggap memiliki kemampuan secara finansial yang kuat untuk bisa bertarung dalam pilpres nanti," kata Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya, kepada detikcom, Jumat (2/5/2014).
Akan tetapi pemilu dan persepsi pemilih tidak bisa dilihat dari kacamata matematika politik. Terutama ketika berbicara mengenai koalisi.
"Aspek kualitatif akan lebih berpengaruh, sebagai contoh apakah bisa dipastikan Partai Golkar akan solid bisa mendukung majunya ARB yang tentu saja akan dianggap kontroversial mengingat perolehan suara partai lebih besar?" kata Yunarto.
Tak hanya dari internal Partai Golkar, duet Prabowo-Ical juga bakal membuat partai yang sempat berencana berkoalisi dengan Gerindra mundur teratur.
"Bagaimana sikap SBY dan Hatta terhadap pasangan ini mengingat kedua orang ini sudah diisukan akan merapat ke Prabowo? Bukan tidak mungkin kedua orang ini malah akan merapat ke barisan koalisi PDIP mengingat bargaining mereka juga menjadi kecil kepada Prabowo ketika ARB masuk menjadi wakil? Bagaimana sikap PKS yang tentu saja terpinggirkan tidak bisa menempatkan kadernya menjadi cawapres," katanya.
Apabila variabel-variabel kualitatif tadi tidak diperhitungkan, bukan tidak mungkin koalisi Gerindra-Golkar gagal memenangkan Prabowo-Ical. "(Pasangan itu) Berpotensi menjadi bumerang dibanding menjadi dongkrak secara elektoral mengingat terlalu banyak resiko yang akan ditanggung. Termasuk risiko di mata pemilih muda, middle class dan kaum urban yang menurut saya cenderung akan melihat pasangan ini sebagai representasi pasangan tua dan masa laluβ," pungkasnya.
(van/nrl)