"Terkait pelaku adalah pejabat publik yang bekerja di organisasi publik, yakni Kementerian Perhubungan, Komnas Perempuan merekomendasikan bahwa kasus ini tidak dipandang sebagai masalah pribadi, tetapi mengedepankan integritas pejabat publik," kata Ketua Sub Komisi Pemantauan, Arimbi Heroepoetri.
Hal ini disampaikan dalam surat kepada Dirjen Perkeretaapian Kemenhub yang dikutip detikcom, Kamis (1/5/2014).
Menurut Komnas Perempuan, pengaduan korban sebaiknya ditindaklanjuti dengan mempertimbangkan kondisi korban yang mengalami kekerasan bertahun-tahun. Hal itu juga untuk menjaga akuntabilitas organisasi tempat pelaku bekerja. Di mana peristiwa ini dapat menjadi preseden institusi Kementerian Pehubungan untuk merancang pakta integritas yang ditekankan pada pejabat publik untuk berkomitmen bersikap dan menjalankan tugasnya selaku pejabat.
"Pakta integritas ini bertujuan di antaranya memutus mata rantai kekerasan terhadap perempuan dan membangun sistem perekrutan pejabat di institusi ini yang menghormati keadilan gender dan mencegah kejadian yang sama berulang kali," ujar Arimbi dalam surat yang ditandatangani pada 14 April 2014 lalu.
Kasus bermula saat S menikahi N pada 10 September 1994 silam. Dari pernikahan itu lalu keduanya dikaruniai dua anak YM (16) dan RR (12). Rumah tangga yang awalnya harmonis tiba-tiba dilanda badai yang cukup serius. Si suami yang bekerja sebagai PNS di Kementerian Perhubungan (Kemenhub), S, ternyata suka 'jajan'.
N lalu menggugat cerai dengan bukti pesta seks si suami tapi ditolak pengadilan. N telah mengadukan ke Kemenhub tetapi belum ada hasil memuaskan. N lalu melaporkan ke Komnas Perempuan.
(asp/rmd)