Komnas HAM Temukan 4 Titik Rawan dalam Pengelolaan Pendidikan

Komnas HAM Temukan 4 Titik Rawan dalam Pengelolaan Pendidikan

- detikNews
Kamis, 01 Mei 2014 05:11 WIB
Jakarta - Kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta International School (JIS) dan kekerasan fisik di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) memunculkan keprihatinan berbagai pihak. Komnas HAM mensinyalir ada 4 titik rawan dalam pengelolaan pendidikan sehingga menyebabkan hal tersebut terjadi.

"Jika masalah tersebut harus diatasi, berbagai kerawanan pengelolaan pendidikan berikut perlu dibenahi," kata Ketua Komnas HAM Haffid Abbas dalam rilis yang diterima detikcom, kamis (1/5/2014).

Kerawanan yang dimaksud Haffid, salah satunya adalah mengenai rendahnya standar pelayanan mutu sekolah di Indonesia. Dari data Kemendikbud, 88,8% sekolah di Indonesia dari SD hingga SMA/SMK belum memenuhi mutu standar pelayanan minimal. Dengan rincian 40,31% dari 201.557 sekolah di Indonesia berada di bawah standar pelayanan minimal, 48,89% sekolah berada pada posisi standar pelayanan minimal. Sementara 10,15% lainnya memenuhi standar pelayanan nasional. Sekolah-sekolah yang dinilai mampu bersaing dengan negara lain yang disebut rintisan sekolah bertaraf internasional hanya sebesar 0,65%.

"Jika potret suram itu tidak segera dirubah, masa depan pendidikan kita bukanlah tempat yang membahagiakan bagi anak didik kita," ujar Haffid.

Selain soal standar mutu, Komnas HAM juga menyorot mengenai legalitas mata kuliah di perguruan tinggi. Sebanyak 6.000 mata kuliah di seluruh perguruan tinggi di Indonesia yang belum terakreditasi atau tidak legal. Jumlah perguruan tinggi negeri hanya 92 dengan perguruan tingi swasta sebanyak 3.600. 42% tenaga pengajar masih berpendidikan S1, dan hanya sekitar 7% dari semua program studi yang berjumlah 18.000 terakreditasi A.

"Akibatnya berbagai kompensasi dapat terjadi, termasuk perilaku anarkis di lingkungan kampus," kata Haffid.

Kerawanan ketiga menurut Haffid adalah mengenai pergeseran kebijakan pengelolaan pendidikan secara keseluruhan baik di pusat maupun di daerah dari pendekatan teknis profesional ke kepentingan politik praktis. Sementara yang keempat adalah kebijakan otonomi daerah yang kerap diselewengkan.

"Bupati atau walikota terpilih bebas menempatkan orang-orang terdekatnya di pemerintahannya. Ada bupati yang menyerahkan urusan pasar pada orang pendidikan, ada yang menempatkan pemakaman ke bidang pendidikan," paparnya.

Oleh karenanya, untuk menjawab semua itu, Haffid mendesak Kemendikbud untuk melakukan akreditasi nasional. Sehingga hanya lembaga pendidikan yang memenuhi standar yang dapat menyelenggarakan proses pendidikan. Dengan akreditasi nasional tersebut, kemungkinan kekerasan dapat diminimalisir.

"Khusus untuk satuan pendidikan kedinasan yang sering kali sarat dengan tindak kekerasan, keberadaanya perlu ditinjau kembali," tutupnya.




(kff/gah)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads