Kisah ini bermula saat Sinur (28) mengetahui ibu tirinya, Misyati, diselingkuhi Ismail. Saat itu Sinur tengah berada di Malaysia bekerja sebagai TKI dan dikabari oleh bibinya, Muna.
Mendengar hal ini, harga diri Sinur merasa tercabik-cabik. Lantas dia pun merencanakan membunuh Ismail, meski harus jauh-jauh pulang kampung. Sesuai rencana, Sinur pulang pada 3 Mei 2013 dan sesampainya di Bandara Juanda, Ismail langsung menuju kampung halamannya di Desa Tebul Timur, Pegantenan, Pamekasan.
Untuk menghilangkan jejak, Sinur bersembunyi di bukit, setelah mengambil celurit di rumahnya terlebih dahulu. Keesokannya, Sinur menuju warung di Jalan Raya Desa Ambender, tempat Ismail biasa nongkrong selepas kerja.
Dan benar saja, Ismail datang dengan mengendarai sepeda motor. Secepat kilat, Sinur melemparkan air keras ke muka Ismail dan Ismail meloncat dari sepeda motornya karena wajahnya kepanasan. Secepat kilat, Sinur membacok Ismail berkali-kali hingga Ismail meninggal dunia.
Setelah itu, Sinur ambil langkah seribu. Namun upayanya digagalkan warga dan dia diamankan polisi. Tidak berapa lama, Sinur diajukan ke pengadilan.
Dalam persidangan, Sinur mengaku melakukan pembunuhan itu semata-mata untuk membela harga dirinya lewat cara carok. Tapi hal itu ditolak majelis hakim.
"Carok itu usai membunuh musuhnya, pelaku tidak kabur, tapi dengan celurit yang masih menempel darah segar, pelaku melapor kepada aparat untuk menyerahkan diri," putus majelis hakim seperti dilansir website Mahkamah Agung (MA), Rabu (30/4/2014).
Karena tidak terbukti carok, Ismail pun dihukum dengan KUHP. Carok sebagai hukum adat di Madura tidak berlaku bagi kasus yang dilakukan Sinur.
"Menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara," putus majelis hakim yang terdiri dari Heri Kurniawan, Bambang Setyawan dan Ni Luh Suantini, pada 13 Januari 2014 silam.
(asp/nrl)