Luhut mengatakan saat ini sudah terlihat nyata di depan mata yaitu partai-partai salaing menunggu dan saling menyandera dalam merangkai koalisi untuk menghasilkan gabungan partai pengusung capres dan cawapres.
"Setiap parpol pastilah ingin bergabung dengan partai yang mempunyai capres dengan peluang paling besar. Untuk itu mereka berharap dapat diberi imbalan kursi cawapresnya atau beberapa portfolio tertentu," kata Luhut dalam rilisnya, Senin (28/4/2014).
Sebaliknya, dia melanjutkan, partai yang menurut hasil survei dari lembaga-lembaga yang dapat dipercaya dengan nilai elektabilitas tinggi, memilih cawapresnya dengan sangat hati-hati. "Berkesan tidak tergesa-gesa walaupun tampaknya dibayangi oleh kekhawatiran akan kehilangan kesempatan mendapat mitra parpol untuk diajak bekerja sama," ujarnya.
Luhut kemudian menyebutkan konsekuensi buruk kedua yang akan terjadi saat presiden dan wapres terpilih menata pemerintahannya. "Dengan modal kursi di DPR yang jauh dari dominan, presiden terpilih bakal mengalami masalah besar untuk mendapat dukungan mayoritas di parlemen," katanya.
Akibatnya, jelas Luhut, kebijakan dan program-programnya bisa terancam tidak terealisasi dengan baik. Sementara kebijakan bagi-bagi kursi kabinet seperti yang pernah dilakukan pada era pemerintahannya sebelumnya, terbukti jauh dari efektif.
Luhut mengingatkan pemerintahan mendatang sebaiknya menghindari keputusan yang mengakibatkan penentangan oleh fraksi di DPR sehingga tidak ada kontra-produktif bagi dirinya sendiri.
Pemerintahan mendatang, tambah dia, juga harus mampu menunjukkan benar-benar pemerintahan yang bersih dari korupsi. "Dan program-programnya yang benar-benar pro-rakyat," tegas dia.
(brn/van)