KPK juga sudah menyiapkan 'fatwa' untuk memastikan status dari barang tersebut. Sebelumnya, sejumlah undangan dari total 2.500 undangan, telah melaporkan iPod tersebut ke KPK tak lama setelah resepsi.
Ketika kasus ini moncer, setidaknya ada 4 orang yang menilai iPod tersebut bukan masalah besar sehingga tidak perlu dikembalikan. Namun dengan keluarnya fatwa KPK tentang iPod, para hakim dan pejabat negara lainnya harus mengembalikan alat pemutar musik itu ke negara.
Inilah 4 orang yang pernah menyebut iPod itu tidak masalah:
Suvenir iPod perkawinan anak Sekretaris MA Nurhadi (ist.)
|
Hakim Agung Gayus Lumbuun
Gayus Lumbuun memperlihatkan lembaran kertas invoice pembelian iPod dalam jumpa pers di Gedung MA, Jakarta, Rabu (19/3/2014)
|
Dalam pernyataannya, Gayus mengatakan bahwa penolakan tersebut sebagai bentuk solidaritas di keluarga besar MA. Menurutnya, jika dilihat dari sisi etis, pemberian dan penerimaan iPod tersebut tidak menyalahi aturan.
Gayus adalah orang pertama yang menjelaskan keberadaan iPod tersebut. Dia mengaku, Nurhadi menceritakan kepadanya tentang iPod itu yang dibeli oleh sang pengantin pria.
Gayus saat berbincang dengan detikcom pada Jumat 17 Maret lalu juga menjelaskan bahwa harga iPod tersebut di pasaran memang mencapai Rp 700 ribu per unit. Namun karena dibeli dalam jumlah yang banyak, maka mendapat diskon sehingga harganya menjadi Rp 500 ribu per unit.
"Saya mengambil sikap untuk menolak imbauan Komisi Yudisial (KY) untuk mengembalikan suvenir tersebut karena selain tidak etis mengembalikan suvenir dari keluarga besar MA, juga tidak melanggar aturan yang menentukan batas hadiah tidak lebih dari Rp 500 ribu," papar Gayus yang pernah meminta transparansi keuangan MA itu.
Hingga pada akhirnya Gayus menggelar jumpa pers pada 19 Maret yang juga dihadiri para hakim agung dan hakim yudisial. Pada kesempatan itu, mereka menyatakan telah mempertimbangkan untuk mengembalikan suvenir itu.
Menurut UU Tipikor, pemberian kepada pejabat negara tidak boleh melebihi Rp 500 ribu.
Hakim Agung Gayus Lumbuun
Gayus Lumbuun memperlihatkan lembaran kertas invoice pembelian iPod dalam jumpa pers di Gedung MA, Jakarta, Rabu (19/3/2014)
|
Dalam pernyataannya, Gayus mengatakan bahwa penolakan tersebut sebagai bentuk solidaritas di keluarga besar MA. Menurutnya, jika dilihat dari sisi etis, pemberian dan penerimaan iPod tersebut tidak menyalahi aturan.
Gayus adalah orang pertama yang menjelaskan keberadaan iPod tersebut. Dia mengaku, Nurhadi menceritakan kepadanya tentang iPod itu yang dibeli oleh sang pengantin pria.
Gayus saat berbincang dengan detikcom pada Jumat 17 Maret lalu juga menjelaskan bahwa harga iPod tersebut di pasaran memang mencapai Rp 700 ribu per unit. Namun karena dibeli dalam jumlah yang banyak, maka mendapat diskon sehingga harganya menjadi Rp 500 ribu per unit.
"Saya mengambil sikap untuk menolak imbauan Komisi Yudisial (KY) untuk mengembalikan suvenir tersebut karena selain tidak etis mengembalikan suvenir dari keluarga besar MA, juga tidak melanggar aturan yang menentukan batas hadiah tidak lebih dari Rp 500 ribu," papar Gayus yang pernah meminta transparansi keuangan MA itu.
Hingga pada akhirnya Gayus menggelar jumpa pers pada 19 Maret yang juga dihadiri para hakim agung dan hakim yudisial. Pada kesempatan itu, mereka menyatakan telah mempertimbangkan untuk mengembalikan suvenir itu.
Menurut UU Tipikor, pemberian kepada pejabat negara tidak boleh melebihi Rp 500 ribu.
Hakim Tipikor Suwidya
|
"iPod hanya suvenir biasa, sama dengan gantungan kunci atau yang lain," kata Suwidya kepada wartawan, Selasa 18 Maret lalu.
Menurut Suwidya masalah tersebut tidak krusial. Dia menilai yang terpenting adalah menghadiri pernikahan karena itu merupakan norma kebudayaan. Dia juga mengaku tak mau ambil pusing dengan besarnya biaya pernikahan tersebut.
Hakim Tipikor Suwidya
|
"iPod hanya suvenir biasa, sama dengan gantungan kunci atau yang lain," kata Suwidya kepada wartawan, Selasa 18 Maret lalu.
Menurut Suwidya masalah tersebut tidak krusial. Dia menilai yang terpenting adalah menghadiri pernikahan karena itu merupakan norma kebudayaan. Dia juga mengaku tak mau ambil pusing dengan besarnya biaya pernikahan tersebut.
Eks Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi
Arsyad Sanusi
|
Dia juga menganggap pemberian iPod sebagai suvenir pernikahan yang dihadiri banyak hakim dan pejabat negara itu tidak menyalahi aturan. Arsyad menilai, pemberian suvenir adalah bentuk budaya. Hal ini disampaikan Arsyad di seminar Ikatan Hakim Indonesia, di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta, 20 Maret lalu.
Arsyad saat menjadi hakim konstitusi diterpa kasus pemalsuan surat MK namun tidak terbukti secara hukum keterlibatannya. Arsyad mengundurkan diri dari kursi hakim konstitusi di saat pusaran kasus itu tengah memanas.
Eks Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi
Arsyad Sanusi
|
Dia juga menganggap pemberian iPod sebagai suvenir pernikahan yang dihadiri banyak hakim dan pejabat negara itu tidak menyalahi aturan. Arsyad menilai, pemberian suvenir adalah bentuk budaya. Hal ini disampaikan Arsyad di seminar Ikatan Hakim Indonesia, di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta, 20 Maret lalu.
Arsyad saat menjadi hakim konstitusi diterpa kasus pemalsuan surat MK namun tidak terbukti secara hukum keterlibatannya. Arsyad mengundurkan diri dari kursi hakim konstitusi di saat pusaran kasus itu tengah memanas.
Ketua MA Hatta Ali
|
Hal itu disampaikan Hatta usai rapat konsultasi pimpinan lembaga negara di Nusantara V Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat pada 20 Maret lalu. Menurut Hatta, MA juga tidak perlu meminta fatwa KPK terkait suvenir tersebut apakah masuk kategori gratifikasi atau tidak. Sebab, hal itu masuk ranah pribadi, bukan lembaga.
Menurut UU Tipikor, pemberian kepada pejabat negara tidak boleh melebihi Rp 500 ribu.
Ketua MA Hatta Ali
|
Hal itu disampaikan Hatta usai rapat konsultasi pimpinan lembaga negara di Nusantara V Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat pada 20 Maret lalu. Menurut Hatta, MA juga tidak perlu meminta fatwa KPK terkait suvenir tersebut apakah masuk kategori gratifikasi atau tidak. Sebab, hal itu masuk ranah pribadi, bukan lembaga.
Menurut UU Tipikor, pemberian kepada pejabat negara tidak boleh melebihi Rp 500 ribu.
Halaman 2 dari 10