"Yang pasti, Bu Titiek meraih suara terbanyak di DIY, mengalahkan incumbent," kata Hajriyanto di Gedung MPR, Senayan, Jakarta, Senin (21/4/2014).
Menurut Wakil Ketua MPR ini, Titiek mewarisi jiwa kepemimpinan Soeharto. Titiek ibarat buah yang tak jatuh dari pohonnya.
"Pastilah di antara anak-anaknya mengalir darah politisi seperti bapaknya. Tidak ada mangga yang jatuh jauh dari pohonnya," kata Hajriyanto.
Menurutnya, Golkar bukan memanfaatkan kharisma Soeharto agar sukses, melainkan kharisma Soeharto-lah yang masih bertahan di tingkat akar rumput. Sikap anti-Soeharto hanya ada di kalangan menengah atas, kalangan yang menuntut kebebasan, penegakkan HAM, dan pendorong demokratisasi.
"Sejak turunnya Pak Harto, masyarakat pedesaan melihat tidak ada satu centimeter-pun pembangunan irigasi baru. Waduk baru juga nggak ada," katanya.
Namun Hajriyanto menilai kesuksesan Titiek belum bisa dikatakan sebagai tanda kebangkitan trah Soeharto. "Kalau hanya satu orang (yang sukses), saya belum melihat kebangkitan trah Soeharto. Namun pastilah di antara anak-anaknya mengalir darah politisi seperti bapaknya," kata Hajriyanto.
Lalu apakah Hajriyanto juga memanfaatkan kharisma Soeharto untuk kesuksesannya di Pileg 2014 yang telah dilalui?
"Sama sekali nggak mengangkat isu Soeharto, tapi juga nggak mengkritik Soeharto," kata caleg asal Karanganyar, Jawa Tengah ini.
Lalu bagaimana hasilnya? Sukses?
"Dalam perhitungan sementara, ada dua orang caleg yang melebihi saya," jawabnya.
(dnu/trq)