Dalam sistem presidensial memang kabinet yang dibentuk presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Namun saat membentuk undang-undang maupun membuat sebuah perencanaan anggaran, presiden memerlukan persetujuan dari DPR.
Lazimnya sistem presidensial diterapkan dalam negara dengan jumlah partai sedikit. Namun meski di Indonesia merupakan negara dengan multipartai, sistem ini tetap diterapkan. Sehingga presiden terpilih nantinya harus membuat strategi agar posisi pemerintahannya tetap kuat, dan tidak rentan 'digoyang'. Jokowi dan Prabowo memiliki cara yang berbeda untuk memperkuat sistem presidensial.
Perbedaan pertama, dalam hal membangun koalisi. PDI Perjuangan dalam pemilihan legislatif tahun ini hanya memperoleh sekitar 19 persen suara.
Angka ini belum memenuhi persyaratan presidential treshold yang 25 persen perolehan suara pemilihan legislatif, atau 20 persen kursi di DPR. Sehingga untuk bisa mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden harus menggandeng partai lain. Namun hingga kini partai berlambang banteng moncong putih itu baru menjalin koalisi dengan Partai Nasional Demokrat (NasDem) yang mendapat 6,7 persen suara.
Ketua DPP PDI Perjuangan Maruarar Sirait kepada detikcom, Kamis (17/4/2014) pekan lalu mengatakan, partainya tidak khawatir dengan koalisi sedikit partai alias kerempeng. Menurut dia jumlah parpol koalisi bukan yang utama.
"Jadi kuantitas itu tidak menjamin. Yang lebih menjamin adalah kualitas," kata politisi yang biasa disapa Ara ini.
Sementara Partai Gerindra menggunakan strategi lain, yakni menggalang 'Koalisi Tenda Besar' alias koalisi dengan banyak partai. Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan, ambang batas alias presidential treshold itu adalah sebuah angka minimal. Artinya besaran angka tersebut belum tentu menghasilkan kekuatan yang bisa mengamankan kedudukan presiden di DPR.
Dengan banyak partai politik yang bergabung akan menghasilkan kekuatan yang besar juga di DPR, sehingga roda pemerintahan akan efektif.
"Perlu diingat bahwa koalisi dibangun tidak hanya sebagai syarat mengajukan capres dan cawapres, tapi juga untuk membuat roda pemerintahan berjalan efektif," kata Muzani saat berbincang dengan detikcom, Kamis (17/4/2014) malam.
Perbedaan kedua, adalah soal pembentukan kabinet nantinya. Koalisi yang dibangun Prabowo secara tegas menyebutkan bahwa akan ada power sharing alias bagi-bagi kursi menteri. Namun PDI Perjuangan dan Jokowi menegaskan tidak akan ada pembagian kursi menteri.
Sekretaris Jenderal Partai Gerakan Indonesia Raya Ahmad Muzani mengatakan, partainya tidak ingin munafik dalam membangun koalisi dengan tidak membagi-bagi kursi menteri. "Kami tidak munafik. Lazimnya di negara manapun yang namanya koalisi itu ya power sharing di kabinet," kata Muzani saat berbincang dengan detikcom, Kamis malam (17/4/2014).
Sementara calon presiden dari PDI Perjuangan Joko Widodo alias Jokowi tidak ingin ada bagi-bagi kursi wakil presiden dan menteri dalam melakukan kerjasama dengan partai politik menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Memang berat dilakukan, tapi Jokowi mengatakan harus ada keberanian.
Bagi Jokowi, tidak ada istilah koalisi dalam bekerjasama membangun pemerintahan mendatang. Koalisi tidak dikenal dalam konsep pemerintahan sistem presidensial. Istilah yang tepat, kata dia, adalah bekerja sama.
"Semua parpol saya ajak kerjasama. Tapi kerjasama ini bukan bagi-bagi kursi. Saya ajak untuk bersama-sama. Kalau semua parpol mau, ya ayo, tapi kalau hanya satu parpol yang mau, ya tidak apa-apa," kata Jokowi dengan penuh ketegasan saat bertemu dengan jajaran pemimpin redaksi di Restoran Horapa, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (15/4/2014) malam.
(erd/van)