Kolom
Permainan Mencari Aman
Selasa, 14 Des 2004 09:56 WIB
Jakarta - Di negeri tercinta Indonesia, penduduknya akan dipaksa untuk terus berpikir keras sebelum memilih dalam mencari risiko terkecil untuk tidak terkena kecelakaan dalam berkendara atau menggunakan transportasi publik lain. Sebelum bepergian, taruhlah anda akan berangkat dari Jakarta menuju Surabaya untuk sebuah urusan, beberapa pilihan moda transportasi tersedia. Mulai dari pesawat, kereta api, bus antar kota, bisa jadi kapal laut atau barangkali sepeda motor, bukan tidak mungkin pula mengendarai mobil pribadi. Sebelum memilih, perlu pemikiran untuk menimbang moda apa yang paling cocok. Pesawat, tentu cepat tetapi ongkosnya mahal. Kereta api, butuh semalam dengan ongkos yang tidak murah. Kereta ekonomi, tentu murah tetapi copet dan pengamen bertebaran. Bus antarkota, mahal dan paling penting sangat melelahkan. Mobil pribadi tidak efisien. Motor? bisa jebol mesinnya. Pilihannya bermacam-macam dengan pertimbangan utama mana yang lebih cepat, murah dan efisien dan paling penting aman. Jika sebuah manajemen transportasi berjalan sebagaimana mestinya, mengambil pilihan jenis kendaraan tidak akan sulit. Vice versa, jika manajemen transportasinya berantakan, memilih moda mana yang paling cocok adalah sebuah game yang rumit. Akan menjadi sebuah permainan accident risk assessment atau penaksiran risiko kecelakaan. Sebuah usaha penaksiran yang mempertimbangkan probabilitas dan konsekuensi dari kemungkinan kecelakaan. Bagaimana menghitung angka risiko keseluruhan? Cara yang paling gampang didapatkan dan sebagian besar dilakukan orang, meskipun ini salah, adalah pertimbangan berdasarkan berita kecelakaan yang banyak muncul di media massa. Semakin sering media memberitakan kecelakaan kereta api, tentu akan menambah ketidakrelaan orang untuk menggunakan moda transportasi kereta api. Semakin sering anda membaca kecelakaan di sebuah ruas jalan tol, semakin anda akan pertimbangkan untuk tidak lewat ruas itu. Semakin sering kuda penarik andong menabrak pagar, semakin anda berpikir ulang untuk naik andong. Celakanya, di negeri tercinta Indonesia, penduduknya akan dipaksa untuk terus berpikir keras sebelum memilih dalam mencari risiko terkecil untuk tidak terkena kecelakaan dalam berkendara atau menggunakan transportasi publik lain. Terlalu berlebihan? Toh anda merasa aman-aman saja bepergian kemanapun. Itu hak anda untuk menyebutkan manajemen transportasi kita belum separah Cina misalnya. Di negeri Tirai Bambu itu sekurangnya 300 orang tewas dalam kecelakaan transportasi setiap harinya menurut sebuah survei yang keluar tahun ini. Cina memimpin di dunia untuk urusan tingkat kematian tertinggi karena kecelakaan. Namun sebaiknya bagi anda yang tidak risau dan menganggap transportasi kita sehat-sehat saja, sebaiknya juga memerhatikan data yang ada. Catatan Polri menunjukkan, total ada 12.769 kecelakaan jalan raya pada tahun 1999 dengan korban tewas 9954 dan luka berat 7398. Paruh pertama 2000, kecelakaan mencapai angka 5996 dengan korban tewas 4563. Lihatlah rasio jumlah korban tewas dan jumlah kecelakaan yang mencolok. Sebuah data dari lembaga swadaya masyarakat perkeretaapian mencatat korban tewas akibat kecelakaan KA dari 1990-2003 mencapai 2771 orang. Anda boleh masih tidak percaya. Alasan Anda, ah itu kan statistik. Toh bekas Perdana Menteri Inggris Benjamin Disraeli pernah bilang, "Ada tiga macam kebohongan: bohong, bohong dan statistik." Tetapi sebaiknya mulailah menyadari bahwa sistem transportasi Indonesia memang berantakan, tidak lumrah dan maaf, berada dalam kategori membahayakan. Beberapa peristiwa belakangan ini agaknya cukup memberi bukti. Lebaran lalu, enam orang tewas di tol Jagorawi hanya gara-gara rombongan presiden mau lewat. Akhir November, tiga pesawat tergelincir di Makassar dan Solo. 31 penumpang tewas dalam peristiwa di Solo dimana salah satunya adalah anggota DPR. Beberapa hari sebelumnya sebuah kereta api eksekutif menghajar mobil Kijang di sebuah perlintasan KA di Tegal, Jawa Tengah, 11 nyawa melayang. Berdekatan waktunya, sebuah mobil pick up yang dijejali 28 penumpang di Batang, Jawa Tengah dilabrak bus hingga 17 tewas. Awal November, seorang pejabat tinggi sebuah departemen tewas setelah mobilnya dihantam kereta api di Bintaro, Jakarta Selatan. Pertengahan November, sebuah kapal motor tanpa nama tenggelam di perairan Tual, Maluku Tenggara, enam orang tewas. Tidak lama alias baru kemarin, seorang anggota DPR tewas dan beberapa rekannya sesama wakil rakyat luka-luka ketika bus yang mereka tumpangi masuk jurang di Dlingo, Bantul. Fakta itu menunjukkan, betapa kecelakaan transportasi di Indonesia sungguh kejam. Ongkos pesawat yang mahal tidak lagi yang paling aman. Anggota DPR yang biasanya mendapat pengawalan dan pelayanan melebihi orang biasa tidak bisa lolos dari kecelakaan. Bagi otoritas yang berwenang, catatan kejadian itu hendaknya tidak saja dimaknai sebagai sebuah musibah yang bisa terjadi kapan saja, dimana saja dan kepada siapa saja. Yang lebih penting adalah menjadi alarm tentang perlunya penataan manajemen transportasi di Indonesia. Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) harus bekerja keras untuk melakukan investigasi penyebab beberapa kecelakaan penting yang terjadi belakangan ini. Dan tentunya mempelajari untuk menyiapkan rekomendasi antisipasi agar kejadian itu tidak terulang lagi belakangan hari. Keamanan 100 persen mungkin tidak akan pernah tercapai (sebuah kenyataan dimana seringkali tidak disadari ketika orang berpandangan "kecelakaan seperti itu tidak akan pernah terjadi lagi"). Akan tetapi, berusaha mencari tingkat aman dalam transportasi pasti bisa dicapai dibandingkan apa yang sudah terjadi sebelumnya. Selain awas dan waspada bagi pengguna transportasi, selebihnya urusan pemerintah untuk menjamin keselamatan warganya.
(diks/)