Menurut pengamat komunikasi politik dari Universitas Nasional, Robi Nurhadi, potensi terbentuknya koalisi poros Islam mestinya kuat kalau mereka mau mempertimbangkan masa depan umat Islam ke depan.
"Masa depan umat Islam belum jelas terakomodasi di antara dua figur capres terkuat yaitu Prabowo dan Jokowi," cetus Robi kepada detikcom, Sabtu (12/4/2014).
Menurutnya, ideologi yang terpersepsikan melekat pada Probowo dan Jokowi adalah sosialis, yakni memperkuat peran negara ke tingkat yang lebih besar. Prabowo lebih memperbesar peran negara di bidang politik, keamanan dan sumberdaya alam. Sementara Jokowi ke arah memperkuat bidang ekonomi dan pelayanan umum.
Namun masalahnya, menurut Robi, kedua figur tersebut susah untuk dilepaskan dari kuatnya bayang-bayang konglomerat Tionghoa dan asing. Rivalisasi Prabowo dan Jokowi dalam tingkat global merupakan implementasi persaingan antara Barat dan konglomerat Cina pro Barat (di pihak Jokowi) dengan Timur dan konglomerat Cina lokal.
"Dengan peta seperti itu, kekuatan poros Islam akan mengalami kedilemaan, yakni maju bersama untuk sebuah idealisme tapi ketiadaan patron politik yg kuat, atau koalisi dengan salah satu Capres kuat," jelasnya.
Kalau bacaan peta tersebut sama dengan persepsi para elit parpol Islam, dan mereka mengesampingkan kepentingan pragmatis masing-masing kelompok maka mereka akan punya dua opsi kuat: pertama, membentuk Poros Islam Kebangsaan, gabungan parpol Islam plus Golkar atau PD atau Hanura.
"Atau kedua, berkoalisi dengan Prabowo. Dua opsi tersebut sama-sama kuat," kata nya..
"Kalau Prabowo dan Jokowi sama-sama menjadi Capres, maka Koalisi Islam Kebangsaan akan mendapatkan kemenangan minimalis. Tapi kalau gabung dengan Prabowo, bisa single majority," pungkas Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M), Pascasarjana, Universitas Nasional ini.
(rmd/jor)