"Itu nggak ada aturannya," kata Wakil Ketua Komisi II Khotibul Umam saat dihubungi, Kamis (10/4/2014).
Khotibul mengatakan UU Pilpres mensyaratkan minimal ada dua pasangan capres-cawapres di Pilpres 2014. Jika tak ada dua pasang sampai batas waktu pendaftaran capres dan cawapres yang ditentukan, maka akan diberi perpanjangan waktu hingga terbentuk dua calon.
"Kalau belum ada dua calon, kita memberikan waktu agar koalisi partai yang masih tersedia terbentuk, misalnya tinggal partai dan partai mana, mau tidak mau harus koalisi," ujarnya.
Senada dengan Khotibul, anggota Komisi II Nurul Arifin mengatakan harus ada minimal dua pasang capres yang berlaga di Pilpres 2014. Tak ada aturan yang mengakomodir hanya satu capres di Pilpres 2014.
"Tidak bisa (satu capres-red) bukan hanya tidak mungkin. Nggak terlaksana itu Pilpresnya," ujar Nurul.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia Adrinov Chaniago menilai mungkin saja pemilihan presiden nanti hanya satu pasangan capres-cawapres, yakni Jokowi dengan cawapresnya.
Adrinov mengatakan, Jokowi effect telah gagal di Pileg karena ketidakmampuan PDIP mengelola modal politik tersebut. Sehingga suara partai berlambang kepala banteng moncong putih itu berhenti di angka 19 persen. Namun kondisi pileg berbeda dengan dinamika yang akan terjadi jelang pilpres.
"Elektabilitas Jokowi sebagai capres masih sangat kuat dan jauh melampaui kandidat lainnya. Sementara di pileg, pemilih memilih partai. Kampanye negatif 'PDIP No, Jokowi Yes' sepertinya berhasil di tengah ketidakmampuan PDIP. Jadi untuk pilpres sepertinya akan berbeda," ujar Adrinov saat berbincang dengan detikcom, Kamis (10/4/2014).
(trq/van)