"(Munculnya fenomena 'Jokowi Yes PDIP No' bagian dari) manuver Intelijen," kata Tjahjo Kumolo kepada detikcom, Rabu (2/4/2014).
Tjahjo tak merinci bagaimana intelijen bermanuver memunculkan wacana yang ingin memisahkan Jokowi dengan PDIP tersebut, termasuk tak menyebut siapa intelijen dimaksud.
Namun Tjahjo dalam beberapa kesempatan, memang kerap menegaskan adanya permainan intelijen dalam pemilu. Dalam konteks ini, intelijen yang menargetkan PDIP atau Jokowi dan intelijen yang bermain untuk pemilu secara lebih luas seperti pada 2009 yang pernah disebut Tjahjo.
"Sulit berkomentar dulu karena sudah operasi politik," tambah Tjahjo.
Fenomena 'Jokowi Yes PDIP No' itu muncul sebagai respon tingginya elektabilitas Jokowi yang tak dibarengi dengan elektabilitas PDIP. Jokowi dinilai lebih 'mahal' dibanding partai yang mengusungnya sebagai capres.
"Betul, ada fenomena Jokowi Yes PDIP No. Jokowi kan bukan hanya dilihat sebagai kader PDIP semata, karena elektabilitasnya yang tinggi dia menggarap semua kalangan termasuk swing voters dan pemilih partai lain. Itu yang membuat elektabilitas Jokowi bisa di atas 30% sementara PDIP sekitar 20%," kata Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya, kepada detikcom, Rabu (2/4).
(iqb/van)