"Pihak intelijen ini sebenarnya adem ayem. Cuma yang tidak tahan adalah parpol atau yang berkepentingan. Kayak di Orde Baru itu kan praktik kecurangan dilakukan terbuka. Sebelum Pemilu itu kan sudah disetting siapa pemenangnya," ujar anggota tim peneliti Center for International Relatons Studies dalam diskusi Manipulasi Pemilu, Pelanggaran Elektoral, dan Aparat Keamanan Edy Prasetyono di Gedung A FISIP Universitas Indonesia, Depok, Selasa (1/4).
Menurut dia, sejak era reformasi netralitas aparat keamanan masih bersifat teori daripada aplikasinya. Aparat keamanan negara yaitu tentara, intelijen, dan polisi adalah aparat pemerintahan yang tergantung terhadap anggaran pemerintah.
Faktanya, dalam setiap pemilu, tentara memiliki fungsi non pertahanan yang menautkan mereka dengan pemerintah daerah atau kelompok sosial kemasyarakatan. Begitupun dengan Polri sebagai pengayom dan pelayan publik, menjadi salah satu lembaga pemangku kepentingan dalam pemilu.
"Dalam aturan-aturan perundangan membuka ruang bagi keikutsertaan mereka dalam pemilu. Bukan tidak mungkin karena ketergantungan anggaran itu mereka lebih nyaman dan sulit dihentikan," kata dosen jurusan Hubungan Internasional itu.
Adapun peneliti Center for International Relatons Studies lain, Hariyadi Wirawan menyebut saat masa orde baru, praktik pelanggaran dalam pemilu dilakukan secara terbuka. Pelanggaran ini tertutup untuk masyarakat, namun secara terbuka dilakukan oleh aparat keamanan negara.
Perbedaan dengan sekarang hanya lebih tertutup oleh aparat keamanan tapi dilakukan lebih canggih. Kerawanan manipulasi di daerah serta persoalan informasi teknologi yang rentan disalahgunakan dalam Pemilu sekarang.
"Di zaman orde baru terbuka memainkan kecurangan. Kayak Harmoko selaku menteri Penerangan ngomong sebelum pemilu, Golkar sudah menang 62 persen. Kalau sekarang lebih canggih ada persoalan IT. Tapi, lebih canggih sekarang dimanfaatin meski tertutup," katanya.
Harry pun menekankan harus ada solusi untuk mengatasi persoalan netralitas aparat keamanan. Salah satunya, pemerintah bisa meningkatkan anggaran negara untuk kesejahteraan anggota aparat keamanan agar tidak terpencing bermain proyek.
Lagipula, kata dia, sebagai organisasi profesi yang memiliki kemampuan khusus dan kewenangan menggunakan kemampuan koersif, aparat keamanan wajib berpegang teguh pada kebajikan, penilaian situasi yang obyektif, dan respon yang sepadan. Dia juga melihat peran lembaga intelijen yang memiliki pengumpulan dan mengolah data yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu.
"Jangan seperti negara Peru saat Pemilu 2000 yang menggunakan kepala BIN Peru (SIN) untuk melakukan intimidasi, penyuapan kepada pemimpin parpol dalam suatu operasi," sebutnya.
(hat/gah)