"Keluarga majikan meminta uang diyat sebesar 7 juta riyal (Rp 21 Miliar) sedangkan diyat yang diberikan oleh pemerintah baru 4 juta riyal (Rp12 miliar). Masih kurang 3 juta riyal (Rp 9 miliar) lagi," jelas anggota DPR Rieke Dyah Pitaloka dalam keterangannya, Selasa (1/4/2014).
Informasi yang diperoleh Rieke, pembayaran 5 juta riyal hanya akan menunda hukuman pancung saja. Keluarga tetap bersikeras uang yang harus dibayar 7 juta riyal.
"Namun pembayaran diyat sebanyak 5 juta riyal ini hanya akan menunda hukuman pancung yang diberikan oleh pengadilan setempat kepada Satinah selama dua tahun. Keluarga majikan tetap meminta 7 juta riyal," jelas Rieke yang mendapat informasi dari sejumlah pihak.
Jadi, lanjut Rieke, Pemerintah segera membayar diyat yang diminta oleh keluarga majikan agar Satinah terbebas dari vonis hukuman mati. Kalau hanya membayar 5 juta riyal, hasil yang akan didapat adalah hanya akan menunda hukuman, sedangkan menunggu dua tahun di penjara bukan waktu yang sebentar untuk Satinah.
"Satinah secara fisik dan mental sangat tertekan berada dalam masa hukuman dari tahun 2009 hingga sekarang," imbuhnya.
Rieke juga menyampaikan, Satinah TKI asal Unggaran Barat, Semarang terancam hukuman mati atas tindakan bela diri dari siksaan majikan yang bernama Nurah binti Muhammad Al Gharib pada 2006 lalu. Kejadian kematian majikan Satinah berawal dari Satinah sedang memasak di dapur, tiba-tiba majikan berteriak memanggilnya.
Dan ketika Satinah mendekat majikan menjambak rambut Satinah dan hendak membenturkan kepala Satinah ke tembok. Satinah berusaha melawan dan akhirnya meraih adonan roti. Dalam keadaan kesakitan dan panik, ia memukulkan adonan roti ke tengkuk majikan. Majikan tak sadarkan diri dan ia membawa majikan ke kamar lalu ia menyerahkan diri ke kantor polisi terdekat.
Satinah dipenjara pada tahun 2009 dan disidang selama lima kali, tidak ada satupun staf KBRI yang mendampinginya. Hingga akhirnya Satinah terancam eksekusi mati oleh pemerintah Arab Saudi.
(ndr/van)