8 Balas Pantun 'Air Mata Buaya'

8 Balas Pantun 'Air Mata Buaya'

- detikNews
Kamis, 27 Mar 2014 13:31 WIB
8 Balas Pantun Air Mata Buaya
Jakarta - Waketum Partai Gerindra Fadli Zon melempar bola panas lewat satir berjudul 'Air Mata Buaya'. Tidak jelas kepada siapa puisi sindiran itu ditujukan.

Puisi itu berisi sosok yang mengaku jujur namun berdusta. Juga sosok yang menampilkan kesederhanaan namun hobi belanja ke luar negari. Fadli juga menyindir soal sosok yang mengaku nasionalis namun menjual aset negara.

Berikut puisi lengkap Fadli Zon berjudul 'Air Mata Buaya', yang dikirim ke detikcom melalui pesan BBM, Rabu (26/3/2014).

Kau bicara kejujuran sambil berdusta
Kau bicara kesederhanaan sambil shopping di Singapura
Kau bicara nasionalisme sambil jual aset negara
Kau bicara kedamaian sambil memupuk dendam
Kau bicara antikorupsi sambil menjarah setiap celah
Kau bicara persatuan sambil memecah belah
Kau bicara demokrasi ternyata untuk kepentingan pribadi
Kau bicara kemiskinan di tengah harta bergelimpangan
Kau bicara nasib rakyat sambil pura-pura menderita
Kau bicara pengkhianatan sambil berbuat yang sama
Kau bicara seolah dari hati sambil menitikkan air mata
Air mata buaya

Tak ayal, puisi itu membuat sejumlah politisi PDIP tidak bergeming. Berikut adu mulut mereka atas puisi Fadli Zon seperti dirangkum detikcom, Kamis (27/3/2014):


1. Rakyat yang Menilai

PDIP, yang akhir-akhir menjadi sasaran tembak Gerindra, menanggapi dingin puisi bernada sindiran Fadli Zon. Ketua DPP PDIP Komaruddin Watubun menyerahkan penilaian itu pada masyarakat.

"Silakan saja, PDIP tidak perlu menanggapi. Rakyat tidak bodoh, rakyat sudah cerdas, silakan rakyat yang menilai," kata Komaruddin saat dihubungi detikcom, Rabu (26/3/2014).

Komarudin mengatakan PDIP memiliki hal lebih besar untuk dipikirkan daripada menanggapi puisi 'Air Mata Buaya' itu. Dia juga heran kenapa Gerindra tak henti-hentinya melempar sindiran ke PDIP.

"Kami lebih berpikir hal yang lebih besar daripada serang menyerang. Kepala boleh panas, hati tetap harus dingin," ujarnya.

1. Rakyat yang Menilai

PDIP, yang akhir-akhir menjadi sasaran tembak Gerindra, menanggapi dingin puisi bernada sindiran Fadli Zon. Ketua DPP PDIP Komaruddin Watubun menyerahkan penilaian itu pada masyarakat.

"Silakan saja, PDIP tidak perlu menanggapi. Rakyat tidak bodoh, rakyat sudah cerdas, silakan rakyat yang menilai," kata Komaruddin saat dihubungi detikcom, Rabu (26/3/2014).

Komarudin mengatakan PDIP memiliki hal lebih besar untuk dipikirkan daripada menanggapi puisi 'Air Mata Buaya' itu. Dia juga heran kenapa Gerindra tak henti-hentinya melempar sindiran ke PDIP.

"Kami lebih berpikir hal yang lebih besar daripada serang menyerang. Kepala boleh panas, hati tetap harus dingin," ujarnya.

2. Gerindra Masih Ngambek

Politisi senior PDIP Hendrawan Supratikno menganggap Prabowo terlalu ambisius dan kader-kader Gerindra mengambek untuk menanggapi puisi Fadli Zon. Gerindra masih mengambek gara-gara Perjanjian Batu Tulis saat Megawati dan Prabowo berduet di Pilpres 2009.

"Ternyata Prabowo sedemikian ambisius dan teman-teman Gerindra sedemikian ngambeknya. Padahal Perjanjian Batu Tulis itu kan tidak hanya tekstual, itu Fadli pahami secara tekstual. Kalau kami secara kontekstual, dari filsafat bahasa dan filsafat perjanjian," kata Hendrawan saat berbincang dengan detikcom, Rabu (26/3/2014).

Hendrawan melihat bahwa Partai Gerindra masih mempermasalahkan poin nomor 7 dari perjanjian itu yang menyebutkan bahwa Megawati akan mendukung Prabowo sebagai capres di 2014. Namun poin itu tentunya batal karena Megawati dan Prabowo kalah di Pilpres 2009.

"Butir ke-7 itu benar hanya kalau Prabowo ingin menyandera PDIP atau Bu Mega ingin menggadaikan PDIP. Kan tidak benar dua-duanya," kata anggota DPR Komisi VI ini.

Menurut Hendrawan, Gerindra jadi ketar-ketir dengan penetapan Jokowi sebagai capres dari PDIP. Saat nama Jokowi muncul di berbagai survei elektabilitas capres, dia langsung mengeser posisi Prabowo.

"Begitu Jokowi muncul, langsung kempes kan dia (Prabowo). Biaya politik yang sudah dikeluarkan, kesabaran untuk menahan ambisi, ini menyita energi dia kan," ujarnya.

2. Gerindra Masih Ngambek

Politisi senior PDIP Hendrawan Supratikno menganggap Prabowo terlalu ambisius dan kader-kader Gerindra mengambek untuk menanggapi puisi Fadli Zon. Gerindra masih mengambek gara-gara Perjanjian Batu Tulis saat Megawati dan Prabowo berduet di Pilpres 2009.

"Ternyata Prabowo sedemikian ambisius dan teman-teman Gerindra sedemikian ngambeknya. Padahal Perjanjian Batu Tulis itu kan tidak hanya tekstual, itu Fadli pahami secara tekstual. Kalau kami secara kontekstual, dari filsafat bahasa dan filsafat perjanjian," kata Hendrawan saat berbincang dengan detikcom, Rabu (26/3/2014).

Hendrawan melihat bahwa Partai Gerindra masih mempermasalahkan poin nomor 7 dari perjanjian itu yang menyebutkan bahwa Megawati akan mendukung Prabowo sebagai capres di 2014. Namun poin itu tentunya batal karena Megawati dan Prabowo kalah di Pilpres 2009.

"Butir ke-7 itu benar hanya kalau Prabowo ingin menyandera PDIP atau Bu Mega ingin menggadaikan PDIP. Kan tidak benar dua-duanya," kata anggota DPR Komisi VI ini.

Menurut Hendrawan, Gerindra jadi ketar-ketir dengan penetapan Jokowi sebagai capres dari PDIP. Saat nama Jokowi muncul di berbagai survei elektabilitas capres, dia langsung mengeser posisi Prabowo.

"Begitu Jokowi muncul, langsung kempes kan dia (Prabowo). Biaya politik yang sudah dikeluarkan, kesabaran untuk menahan ambisi, ini menyita energi dia kan," ujarnya.

3. Dramatisir Masalah

Waketum Partai Gerindra Fadli Zon dinilai suka mendramatisasi masalah. Salah satu buktinya yakni melempar puisi Air Mata Buaya.

"Fadli memang suka mendramatisasi masalah. Sekarang puisi, mungkin nanti prosa atau pantun atau gurindam," kata Hendrawan saat berbincang dengan detikcom, Rabu (25/3/2014).

Namun ia tetap menanggapi puisi itu dengan santai. "Itu cara ekspresi suasana hati," imbuhnya.

3. Dramatisir Masalah

Waketum Partai Gerindra Fadli Zon dinilai suka mendramatisasi masalah. Salah satu buktinya yakni melempar puisi Air Mata Buaya.

"Fadli memang suka mendramatisasi masalah. Sekarang puisi, mungkin nanti prosa atau pantun atau gurindam," kata Hendrawan saat berbincang dengan detikcom, Rabu (25/3/2014).

Namun ia tetap menanggapi puisi itu dengan santai. "Itu cara ekspresi suasana hati," imbuhnya.

4. Belajar Bikin Puisi

PDIP tidak mau kalah dengan puisi sindiran yang dilempar Fadli Zon. PDIP akan belajar membuat puisi.

"Tapi ya ini fenomena baru, caleg atau politisi yang dapat berpuisi. Kami harus banyak belajar dalam hal ini," kata Wakil Sekjen PDIP Eriko Sotarduga saat dihubungi, Rabu (26/3/2014).

Eriko memilih tak menanggapi secara berlebihan puisiΒ  Fadli. Soalnya Eriko mengaku belum mahir berpuisi dan harus belajar dulu.

"Apalah awak ini tak pandai berpuisi dan berpantun," kata Eriko sambil tersenyum.

Terkait isi puisi itu sendiri, Eriko tak ingin berkomentar. PDIP akan menyerahkan semua pilihan kepada rakyat hingga Pemilu 2014 nanti.

"Hahaha, nggak ingin menanggapi, marilah kita bersama-sama memberikan yang terbaik untuk rakyat ke depan ini. Biarlah masyarakat dan rakyat Indonesia yang memutuskan yang terbaik," tutur Eriko.

4. Belajar Bikin Puisi

PDIP tidak mau kalah dengan puisi sindiran yang dilempar Fadli Zon. PDIP akan belajar membuat puisi.

"Tapi ya ini fenomena baru, caleg atau politisi yang dapat berpuisi. Kami harus banyak belajar dalam hal ini," kata Wakil Sekjen PDIP Eriko Sotarduga saat dihubungi, Rabu (26/3/2014).

Eriko memilih tak menanggapi secara berlebihan puisiΒ  Fadli. Soalnya Eriko mengaku belum mahir berpuisi dan harus belajar dulu.

"Apalah awak ini tak pandai berpuisi dan berpantun," kata Eriko sambil tersenyum.

Terkait isi puisi itu sendiri, Eriko tak ingin berkomentar. PDIP akan menyerahkan semua pilihan kepada rakyat hingga Pemilu 2014 nanti.

"Hahaha, nggak ingin menanggapi, marilah kita bersama-sama memberikan yang terbaik untuk rakyat ke depan ini. Biarlah masyarakat dan rakyat Indonesia yang memutuskan yang terbaik," tutur Eriko.

5. Yang Jual Aset Siapa?

Di puisi Air Mata Buaya, Fadli menyindir soal penjualan aset negara. Merespons itu, PDIP justru balik bertanya.
Β 
"Yang jual aset negara siapa? Tanya ke Gerindra," tanggap Sekretaris Jenderal PDIP Tjahjo Kumolo saat dihubungi, Rabu (26/3/2014).

5. Yang Jual Aset Siapa?

Di puisi Air Mata Buaya, Fadli menyindir soal penjualan aset negara. Merespons itu, PDIP justru balik bertanya.
Β 
"Yang jual aset negara siapa? Tanya ke Gerindra," tanggap Sekretaris Jenderal PDIP Tjahjo Kumolo saat dihubungi, Rabu (26/3/2014).

6. Masa Terjal Jokowi

PDIP inginkan kejelasan soal untuk siapa sindiran politis puisi Air Mata Buaya Fadli Zon ditujukan. Namun sindiran itu dianggap PDIP sebagai masa terjal capres PDIP Jokowi untuk merebut kursi capres.

"Kita akan punya sikap kalau misalkan Pak Fadli Zon menyatakan puisinya itu untuk siapa," kata Ketua DPP PDIP Maruarar Sirait di Restoran Rempah-rempah, Jl Senopati, Jakarta Selatan, Rabu (26/3/2014).

Maruarar menyatakan Jokowi saat ini memang diuji lewat 'jalan terjal' sebelum mencapai kursi presiden. Segala sindiran semacam ini dianggap PDIP sebagai pendewasaan bagi Jokowi.

"Kita dan Mas Jokowi menghadapi masa-masa terjal. Untuk mendapatkan kepercayaan tentu ada ujian. Ini adalah masa pematangan Mas Jokowi," kata Maruarar.

Ara, demikian dia akrab disapa, mengatakan PDIP tak mau merespons puisi itu lebih jauh. Dia mengatakan Pemilu harus dibuat berkualitas dengan adu gagasan, bukan sindiran.

"Kita berpikir positif lah. Fadli itu kawan baik saya juga. Kita tidak boleh negatif thinking. Kita juga ingin Pemilu ini berkualitas. PDIP berusaha menjalin hubungan partai dengan cara negarawan dan dewasa," tutur Maruarar diplomatis.

6. Masa Terjal Jokowi

PDIP inginkan kejelasan soal untuk siapa sindiran politis puisi Air Mata Buaya Fadli Zon ditujukan. Namun sindiran itu dianggap PDIP sebagai masa terjal capres PDIP Jokowi untuk merebut kursi capres.

"Kita akan punya sikap kalau misalkan Pak Fadli Zon menyatakan puisinya itu untuk siapa," kata Ketua DPP PDIP Maruarar Sirait di Restoran Rempah-rempah, Jl Senopati, Jakarta Selatan, Rabu (26/3/2014).

Maruarar menyatakan Jokowi saat ini memang diuji lewat 'jalan terjal' sebelum mencapai kursi presiden. Segala sindiran semacam ini dianggap PDIP sebagai pendewasaan bagi Jokowi.

"Kita dan Mas Jokowi menghadapi masa-masa terjal. Untuk mendapatkan kepercayaan tentu ada ujian. Ini adalah masa pematangan Mas Jokowi," kata Maruarar.

Ara, demikian dia akrab disapa, mengatakan PDIP tak mau merespons puisi itu lebih jauh. Dia mengatakan Pemilu harus dibuat berkualitas dengan adu gagasan, bukan sindiran.

"Kita berpikir positif lah. Fadli itu kawan baik saya juga. Kita tidak boleh negatif thinking. Kita juga ingin Pemilu ini berkualitas. PDIP berusaha menjalin hubungan partai dengan cara negarawan dan dewasa," tutur Maruarar diplomatis.

7. Puisi Bernilai Universal

PDIP meminta kejelasan soal siapa yang dimaksud sebagai penjual aset negara di puisi itu. Penulis puisi, Fadli Zon pun menjawab.

"Itu kan umum (soal sosok yang dijadikan objek sindiran), jadi kalau merasa, maka ada sesuatu," kata Fadli kepada detikcom, Kamis (27/3/2014).

Fadli mengatakan, puisinya itu hanya membicarakan nilai-nilai universal seperti ketulusan dan kejujuran. Sindiran-sindiran yang ada di dalamnya ditujukan untuk semua orang.

"Satirenya sangat umum, saya tidak bicara soal satu lembaga. Kalau tidak merasa, jangan kebakaran jenggot," ujar Fadli.

Bait yang berbunyi 'Kau bicara nasionalisme sambil jual aset negara' dalam puisi itu dinyatakan Fadli bukan spesial ditujukan untuk mantan presiden sekaligus Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Kalaupun pihak PDIP tersindir, maka sejarah itu harus diakui.

"Kalau menjadi fakta sejarah, kenapa tidak diakui? Itu kan mungkin keputusan politik ekonomi yang harus diambil kala itu," kata Fadli.

Meski begitu, Fadli tetap menolak untuk mengungkapkan objek sasaran puisinya yang meluncur di tengah rivalitas Gerindra dan PDIP itu. Baginya, isi puisi tidak bisa begitu saja diungkap kejelasannya.

"Kalau puisi mau dikaji, ada ilmu khusus kritik sastra. Itu biar para kritikus sastra yang mau melihat. Kalau konteksnya di politik, ya biarlah orang melihat," kelitnya.

7. Puisi Bernilai Universal

PDIP meminta kejelasan soal siapa yang dimaksud sebagai penjual aset negara di puisi itu. Penulis puisi, Fadli Zon pun menjawab.

"Itu kan umum (soal sosok yang dijadikan objek sindiran), jadi kalau merasa, maka ada sesuatu," kata Fadli kepada detikcom, Kamis (27/3/2014).

Fadli mengatakan, puisinya itu hanya membicarakan nilai-nilai universal seperti ketulusan dan kejujuran. Sindiran-sindiran yang ada di dalamnya ditujukan untuk semua orang.

"Satirenya sangat umum, saya tidak bicara soal satu lembaga. Kalau tidak merasa, jangan kebakaran jenggot," ujar Fadli.

Bait yang berbunyi 'Kau bicara nasionalisme sambil jual aset negara' dalam puisi itu dinyatakan Fadli bukan spesial ditujukan untuk mantan presiden sekaligus Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Kalaupun pihak PDIP tersindir, maka sejarah itu harus diakui.

"Kalau menjadi fakta sejarah, kenapa tidak diakui? Itu kan mungkin keputusan politik ekonomi yang harus diambil kala itu," kata Fadli.

Meski begitu, Fadli tetap menolak untuk mengungkapkan objek sasaran puisinya yang meluncur di tengah rivalitas Gerindra dan PDIP itu. Baginya, isi puisi tidak bisa begitu saja diungkap kejelasannya.

"Kalau puisi mau dikaji, ada ilmu khusus kritik sastra. Itu biar para kritikus sastra yang mau melihat. Kalau konteksnya di politik, ya biarlah orang melihat," kelitnya.

8. Siap Ajarkan Puisi

Alih-alih menanggapi satire 'Air Mata Buaya' Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon, politisi PDIP justru menyatakan akan belajar menulis puisi. Fadli kemudian mengaku siap mengajari politisi PDIP menulis puisi.

"Nanti gampang kalau itu (mengajari bikin puisi). Kebetulan saya redaktur majalah sastra, nanti saya ajarin," ujar Fadli kepada detikcom, Kamis (27/3/2014).

Sasaran sindiran dari puisinya itu dinyatakan Fadli tak menunjuk ke satu orang atau lembaga, melainkan ditujukan sebagai sindiran kepada semua orang, termasuk diri Fadli sendiri. Lewat puisi, Fadli ingin mengajak semua politisi untuk bersaing dengan cara yang lebih berbudaya.

"Kita ingin politik kita berbudaya. Ya kita gunakan dong, saya pikir puisi adalah medium politik yang bagus," kata Fadli.

Puisi itu ditulis Fadli menggunakan ponsel pintar seketika setelah mendapat inspirasi. Tak perlu waktu lama untuk membuat karya yang ditulis Rabu (26/3) kemarin itu.

"Kalau puisi itu kan ekspresi. Saya nulis lima menit saja, begitu ada inspirasi saya tulis pakai handphone. Spontan," kata Fadli.

8. Siap Ajarkan Puisi

Alih-alih menanggapi satire 'Air Mata Buaya' Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon, politisi PDIP justru menyatakan akan belajar menulis puisi. Fadli kemudian mengaku siap mengajari politisi PDIP menulis puisi.

"Nanti gampang kalau itu (mengajari bikin puisi). Kebetulan saya redaktur majalah sastra, nanti saya ajarin," ujar Fadli kepada detikcom, Kamis (27/3/2014).

Sasaran sindiran dari puisinya itu dinyatakan Fadli tak menunjuk ke satu orang atau lembaga, melainkan ditujukan sebagai sindiran kepada semua orang, termasuk diri Fadli sendiri. Lewat puisi, Fadli ingin mengajak semua politisi untuk bersaing dengan cara yang lebih berbudaya.

"Kita ingin politik kita berbudaya. Ya kita gunakan dong, saya pikir puisi adalah medium politik yang bagus," kata Fadli.

Puisi itu ditulis Fadli menggunakan ponsel pintar seketika setelah mendapat inspirasi. Tak perlu waktu lama untuk membuat karya yang ditulis Rabu (26/3) kemarin itu.

"Kalau puisi itu kan ekspresi. Saya nulis lima menit saja, begitu ada inspirasi saya tulis pakai handphone. Spontan," kata Fadli.
Halaman 2 dari 18
(nik/van)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads