Dalam monumen itu dijelaskan sejarah gedung dan peristiwa pengeboman yang menewaskan 3 orang serta melukai 33 orang warga Singapura itu. Gedung yang dibangun pada tahun 1949 tersebut merupakan gedung terbesar pada saat itu.
"Bom tersebut merupakan serangan teroris di Singapura selama konfontrasi Indonesia," tulis monumen tersebut saat dilihat detikcom, Selasa (25/3/2014).
"Serangan ini dipicu pada tahun 1963 ketika Presiden Indonesia Sukarno menginstruksikan warganya untuk melawan Singapura, Serawak, Sabah dan Malaya," tambahnya.
Karena frekuensi bom di Singapura semakin sering, masyarakat kala itu diimbau untuk meningkatkan kewaspadaan. Para warga diminta tidak menerima parcel di dalam gedung atau di sepanjang jalan.
"Dua orang Indonesia yang terlibat dalam pengeboman dihukum gantung," tutup monumen yang terletak di Jalan Orchard tersebut.
Pasca kejadian itu, hubungan Indonesia dan Singapura memanas hingga bertahun-tahun. Kemudian pada tahun 1973 Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yeuw menabur bunga di atas pusara Usman dan Harun atas permintaan Presiden Soeharto. Urusan tersebut dianggap telah selesai.
Namun belakangan luka lama tersebut muncul kembali saat TNI AL menamai kapal barunya dengan nama KRI Usman Harun, pelaku pengeboman di MacDonald House. Pemerintah Singapura merasa sakit hati.
Meski begitu, masyarakat Singapura sendiri tak terlalu menghiraukan hal tersebut. Beberapa warga menganggap penamaan KRI merupakan hak Indonesia. Namun Singapura tetap menganggap Usman dan Harun sebagai teroris.
"Kita punya sejarah yang sama-sama kita tahu. Yang penting kejadian tersebut tidak terulang, kita tetap hidup berdampingan," kata salah seorang warga, Ghen Taik.
Seremoni peletakan bunga oleh Dino Patti Djalal di atas monumen tersebut juga diapresiasi warga sekitar meski sebelumnya sempat mendapat penolakan dari pemerintah.
(kff/fjr)