Empat stiker kampanye partai politik itu 'berebut' tempat di sebuah warung nasi di Cilandak, Jakarta Selatan. Ukuran, model, dan gaya kampanye hampir seragam. "Coblos nomor urut ini", begitu kurang lebih ajakan dalam stiker tersebut.
Warung nasi yang tak seberapa luas itu memang menjadi langganan politisi ataupun partai untuk menempel iklan kampanye. Bahkan satu stiker yang dipasang di warung tersebut merupakan alat peraga kampanye pada pemilihan umum 2009 lalu.
Begitulah, sampah-sampah visual dari iklan politik seakan sudah menjadi satu paket dengan penyelenggaraan tiap musim pemilihan umum.
"Nah yang sekarang terjadi pestanya ini adalah konsep politik transaksional, maka yang terjadi adalah pesta yang harus menghasilkan sampah," kata Sumbo saat berbincang dengan detikcom, Senin (10/3) kemarin.
Mestinya menurut Sumbo, iklan politik sekadar alat bantu untuk mendekatkan gagasan dan kerja nyata seorang politisi dengan calon pemilih.
Sayang politisi di negeri ini masih banyak yang menganggap popularitas bisa diraih secara instan. Mereka hanya terjun ke masyarakat di waktu kampanye yang hanya 14 hari. Dengan waktu yang singkat para politisi tersebut tak mungkin menjangkau semua daerah pemilihannya.
Wal hasil penyebaran atribut kampanye pun diprioritaskan. Atribut kampanye menjadi andalan untuk menggenjot elektabilitas. Dengan memasang ribuan poster dan rontek yang memuat mukanya, disangka rakyat akan langsung mengenal dan memberikan suaranya.
Parahnya lagi, material yang digunakan untuk segala macam bentuk alat peraga kampanye ini sebagian besar adalah bahan plastik yang tentunya sulit diurai. Jadi, selain tak memperhatikan pemasangan yang menjarah ruang publik, material yang digunakan pun membahayakan lingkungan.
Pemasangan atribut kampanye yang ditempel di tikungan, di jalan-jalan, di pohon atau di tempel di warung-warung dan rumah warga sesungguhnya tidak efektif. Metode ini, berdasarkan pengalaman 2004 dan 2009, kata Sumbo, justru membuat kandidat jadi berjarak dengan konsituennya.
Ada cara yang lebih 'manjur' dan tidak meninggalkan sampah visual di ruang publik, yakni pemanfaatan merchandise seperti gelas, payung, alat tulis, kaus. "Itu jauh lebih efektif dan fungsional. Karena dia dia datang ke dapil, ketemu langsung dengan konsituennya lalu ngomong sambil menyampaikan visi dan misinya," kata Sumbo.
Direktur Eksekutif Pol Tracking Institute, Hanta Yudha menilai pemasangan alat peraga kampanye termasuk menempel stiker tidak efektif untuk meningkatkan elektebilitas. Cara ini dianggap membosankan dan tidak mendapat perhatian secara positif dari publik.
Adanya ribuan caleg dengan kondisi pemasangan atribut yang semrawut justru membuat cara ini tidak efektif. "Cara ini memang lumrah karena terdesak oleh kompetisi persaingan yang semakin tinggi dalam satu wilayah. Massa yang melihat justru cenderung bingung dan risih," kata Hanta kepada detikcom, Senin (10/3) kemarin.
Selain sudah menjamur, atribut yang menempel di berbagai tempat ini malah membuat risih, merusak pemandangan dan bingung masyarakat. Atribut tersebut tak jarang justru menimbulkan sampah di sejumlah tempat.
(erd/erd)











































