Ingatan Doni menerawang ke masa pemilihan umum dua periode lalu. Pengalaman ikut-ikutan kampanye dengan teman memakai sepeda motor pada Pemilu 10 lalu membuatnya apes.
Selain ban motor bocor, Doni tidak kebagian jatah uang bensin dan makan sebesar Rp 45 ribu. Padahal, waktu itu dia rela panas-panasan dan menuntun sepeda motor untuk menambal ban.
Selesai kampanye, warga Mampang, Jakarta Selatan, ini menagih ke koordinator soal jatah honornya. Tapi, menurut si koordintor uang jatah Doni sudah dikasih ke temannya. Begitu ditanya ke temannya, malah sebaliknya, katanya uang Doni masih ada dan belum dikasih oleh pihak koordinator lapangan.

Akhirnya saat itu ia harus gigit jari. Doni cuma kebagian kaus oblong partai. “Kalau libur kerja mending main sama anak dari pada ikut kampanye enggak jelas gitu. Ogah dah, gue kapok ditawarin duit gede juga,” ujar pria berusia 28 tahun ini kepada detikcom, Sabtu (08/03/2014).
Fenomena massa bayaran yang selalu muncul setiap pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah dinilai miring oleh pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Ari Dwipayana. Menurut dia kampanye dengan cara memobilisasi massa dalam jumlah banyak tidak efektif untuk mendulang perolehan suara.
“Apalagi jika dilakukan dengan cara berbayar, ongkos, itu tidak efektif untuk mempengaruhi pilihan publik,” kata Ari saat berbincang dengan detikcom, Senin (10/03/2014).
Adapun Direktur Eksekutif Fastcomm, Ipang Wahid, mengatakan dalam proses kampanye, posisi Fastcomm yakni sebagai konsultan komunikasi politik termasuk di dalamnya urusan poles memoles citra kandidat.
Dia mengaku tak mengurusi bagian yang berkaitan jaringan atau pengerahan massa. “Kalau yang berhubungan sama PR, otomatis urusannya ke kita jadinya, jadi kan personal branding,” kata dia kepada detikcom, Ahad (09/03/2014).
(hat/brn)