Penulis 'Politik Dakwah dalam Nada': Rhoma Layak Bergelar Profesor

Penulis 'Politik Dakwah dalam Nada': Rhoma Layak Bergelar Profesor

- detikNews
Kamis, 01 Jan 2009 07:00 WIB
Jakarta -

Ketika banyak orang mencibir pencantuman gelar profesor bagi Rhoma Irama, cendekiawan muda M Shofan justru menyokongnya. Bagi dia, menyimak kompetensi, karya-karya, dan perjalanan panjang yang dilalui, Si Raja Dangdut itu memang tergolong guru besar di bidang musik dangdut.

"Idealnya, Fakultas Ilmu Budaya atau Institut Kesenian Jakarta yang memberikan gelar tersebut,” kata Shofan yang merupakan peneliti di Universitas Paramadina.

Jauh sebelum para pegiat anti korupsi berteriak soal demokrasi dan pemberantasan korupsi, Rhoma telah menyuarakannya lewat lagu 'Indonesia' pada 1980. Sebelum Amien Rais melakukan perlawanan terhadap Orde Baru pada pertengahan 1990-an, Rhoma telah mendendangkan lagu 'Hak Asasi' pada 1978 untuk menentang kesewenang-wenangan rezim Orde Baru melalui Golongan Karya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Shofan mengupas perjalanan karir Rhoma lewat buku 'Rhoma Irama; Politik Dakwah Dalam Nada' yang diluncurkan di sela acara Islamic Book Fair di Istora, Senayan, Jumat (7/3) kemarin. Buku yang ditulis selama tiga tahun itu, kata Shofan, sudah terjual lebih dari 3000 eksemplar sejak dipasarkan pada 25 Januari lalu. β€œSaya sedang menyiapkan edisi revisi yang akan diterbitkan akhir Maret ini,” ujar Shofan yang tengah menempuh program doktoral di UIN Syarif Hidayatullah.


Apa yang mendorong Anda menulis buku tentang Rhoma Irama?

Sebagai penggemar lagu-lagu Rhoma Irama, saya merasa tertantang untuk menuliskan perjalanan karirnya juga tentang musik dangdut secara umum karena sejauh ini buku sejenis belum ada. Malah yang menulis justru para peneliti asing seperti Andrew N Weintraub (Dangdut Stories), William H Frederick (Rhoma Irama and Dangdut Style), dan Mr Tanaka dari Jepang.

Bukan karena Anda tim sukses pencapresan Rhoma?

Sama sekali bukan. Saya baru kenal personal pada awal 2013 ketika draf buku ini sudah rampung.

Saya cuma menggemari lagu-lagu karya beliau. Saya menulis buku ini selama tiga tahun. Setiap bab saya tulis sambil mendengarkan lagu-lagu Bang Haji, menjadi rileks rasanya. Kalau pun buku ini baru diterbitkan, ini saya kira strategi marketing dari penerbit saja. Dan berhasil. Dalam tempo dua bulan sudah terjual lebih dari tiga ribu eksemplar loh. Makanya saya sedang menyiapkan edisi revisi yang akan dicetak ulang akhir Maret ini.

Sebetulnya apa istimewanya lagu-lagu Rhoma Irama dibanding irama dangdut lainnya?

Dia itu menulis lagu seperti lewat ilham. Maksudnya lagunya datang begitu saja, dan tinggal dibuatkan syair sesuai dengan kondisi lingkungan. Tak cuma lagu-lagu cinta, temanya luas merambah ke masalah politik, hak asasi manusia, pembangunan karakter bangsa. Rhoma berani menggugat kebijakan pemerintah yang dianggap kurang sesuai dengan kaidah agama, seperti legalisasi Porkas dan SDSB lewat lagu 'Judi' (1982). Ada lagu "Pemilu" dan "Hak Asasi" (1977), "Sumbangan", serta "Indonesia" (1982) yang sarat kritik dan sentilan tentang pratek KKN di masa itu. Akibatnya, dia sempat diinterogasi pihak militer dan dicekal tampil di TVRI selama 11 tahun lamanya.

Dan Rhoma juga memasukkan dakwah lewat lagu?

Persis. Itu lewat perjuangan tak mudah lo. Mengucapkan salam di awal konser saja kala itu justru dicemooh, dilempari batu, lumpur. Itu terjadi sewaktu di Ancol. Ketika mengutip surat Al-Ikhlas, dia disidang Majelis Ulama Indonesia karena dianggap melecehkan agama. Padahal tentu saja tidak demikian. Pada 1973, dia resmi mendeklarasikan diri The Voice of Moslem.

Anda setuju Rhoma diberi gelar Profesor?

Kalau kita mau rendah hati menyimak syair dan lirik lagu-lagu Rhoma sepanjang perjalanan karirnya selama 44 tahun, tentu sangat layak. Profesor Buya Hamka, Prof Abubakar Aceh, Jack Lesmana, itu diberi gelar profesor karena ketekunan mereka di bidangnya. Seharusnya Fakultas Ilmu Budaya atau Institut Kesenian Jakarta yang memberikan penghargaan itu kepada Rhoma, bukan justru dari asing.

Masyarakat kita lebih mahir melihat sisi negatif orang lain, ketimbang mengapresiasi sisi positifnya. Beberapa perguruan tinggi di luar itu banyak yang meneliti lagu-lagu Rhoma karena dianggap berkarakter. Lagu Judi, Mirasantika itu diteliti di Universitas Pittsburg.

MC Rickleffs, peneliti yang menulis buku 'Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi dan Penentangnya' itu menyebut Rhoma Irama sebagai tokoh terdepan dalam proses islamisasi pada era 1970-an.

Selain pengamat musik Bens Leo dan Denny Sakrie, di buku Anda ada belasan tokoh memberikan testimoni.

Makanya itu. Rhoma Irama dan karya-karyanya memang dahsyat. Doktor Yudi Latif itu pernah membuat survei tentang pengaruh band-band terhadap masyarakat. Ternyata Rhoma dan Soneta mengungguli Peterpan, Ungu, Ahmad Dhani. Ada guru saya, Prof Syamsul Arifin di Univesitas Muhammadyah Malang mengaku tiap hari mendengarkan lagu-lagu Rhoma dan dia menyimpulkan Rhoma sebagai seniman berkarakter. Wakil ketua MPR Hajriyanto Y Tohari pun begitu.

(alx/rmd)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads