Hal itu disampaikan Benedict Rogers dari LSM Inggris Christian Solidarity Worldwide (CSW) dalam diskusi di Gedung Parlemen Eropa, Brussel, Belgia, Selasa (4/3/2014) baru-baru ini.
Bertindak sebagai pembicara utama dalam diskusi yang disponsori oleh CSW itu, Rogers menyampaikan laporannya berjudul Indonesia: Pluralism in Peril; The Rise of Religious Intolerance Across the Archipelago.
Tesis Rogers dalam laporan itu menyatakan bahwa pluralisme di Indonesia dalam keadaan bahaya, intoleransi di Propinsi Aceh pun meningkat sejak tahun 2005 (Hal 57).
Duta Besar RI untuk Belgia, Luksemburg dan Uni Eropa Arif Havas Oegroseno sebagai pembicara dalam diskusi itu menegaskan bahwa tesis dari laporan Benedict Rogers memiliki berbagai kelemahan yang dapat mengurangi kredibilitas laporan.
"Laporan ini tidak merujuk kepada data-data publik yang fundamental, sehingga kesimpulan bahwa pluralisme Indonesia dalam keadaan bahaya adalah tidak tepat, dan bahkan terkesan ada nuansa hipokrit," ujar Dubes.
Menurut Dubes, tesis bahwa Aceh menjadi intoleran sejak 2005 karena diterapkannya Syariah tidak merujuk kepada fakta bahwa Syariah yang ada merupakan hasil pemberlakuan Qanun di Aceh yang diakui MoU Helsinki tahun 2005.
Sebagaimana diketahui, MoU Helsinki 2005 dimediasi oleh Martti Aahtisari, mantan Presiden Finlandia, dan ditandatangani oleh wakil dari pemerintah Indonesia, GAM dan Martti Aahtisari sendiri.
Implementasi MoU Helsinki juga dimonitor oleh UE melalui melalui Aceh Monitoring Mission yang dipimpin oleh Pieter Feith.
Bahkan pemilihan umum di Aceh yang dilaksanakan pada 11 Desember 2006 pun dipantau oleh EU Election Mission yang dipimpin oleh anggota Parlemen Eropa, Glyn Ford.
Meskipun hal ini merupakan informasi terbuka yang diketahui publik secara luas, namun ironisnya Benedict Rogers ternyata mengakui tidak mengetahui sama sekali keterlibatan UE dalam MoU Helsinki.
Dubes menilai bahwa adanya kasus yang terjadi di Indonesia seharusnya tidak serta merta disimpulkan bahwa pluralisme Indonesia dalam bahaya, mengingat berbagai intoleransi di UE jauh lebih tinggi dari Indonesia.
"Seperti kampanye Geert Wilders yang menyebarkan stiker Islam is a Lie, Mohamed is Criminal, Koran is Poison, namun tidak serta merta dapat dinyatakan bahwa pluralisme UE dalam keadaan bahaya," demikian Dubes.
Dubes menegaskan bahwa pemerintah Indonesia selalu berupaya untuk mengatasi setiap tantangan dinamika kehidupan beragama dan sebagai negara demokrasi yang terbuka, tidak menggunakan pelanggaran HAM sebagai suatu alat kebijakan.
Intoleransi di Eropa
Director of International Institute for Religious Freedom (Bonn-Cape Town-Colombo), Board Member of the International Society for Human Rights dan juru bicara Human Rights of the World Evangelical Alliance Prof. Dr. Thomas Schirrmacher menyampaikan bahwa kasus diskriminasi dan intoleransi juga banyak terjadi di Uni Eropa dan tidak semuanya bisa diselesaikan dengan baik.
"Karena perbedaan latar belakang sejarah, kompleksitas masalah terkait kebebasan beragama atau kepercayaan di Indonesia tidak sepenuhnya dapat dipahami oleh UE dan institusi-institusinya, sehingga dengan demikian tidak selayaknya bersikap 'menghakimi' negara mana pun, termasuk Indonesia," cetus Prof. Schirrmacher.
Menurut Prof. Schirrmacher, yang patut dihargai adalah bahwa di Indonesia, data mengenai situasi kehidupan beragama di Indonesia yang dipergunakan oleh banyak pihak termasuk CSW justru berasal dari peneliti Muslim seperti dari Wahid Institute.
"Bahkan hasil riset dan pengumpulan data yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dapat diakses dengan leluasa oleh semua pihak," tegas Prof. Schirrmacher.
Lanjut Prof. Schirrmacher, hal itu menunjukkan keterbukaan pemerintah Indonesia yang perlu dihargai, karena tidak semua negara bersedia melakukannya.
Standar Ganda
Terkait kredibilitas dalam menyikapi masalah HAM, Ketua Sub-Komite HAM Parlemen Eropa Barbara Lochbihler dalam Konferensi Peringatan Hari HAM Se-dunia 10 Desember 2013 lalu menyatakan bahwa UE harus meninggalkan sikap standar ganda dan UE tidak dapat mengharapkan negara lain menghormati HAM dan demokrasi apabila di waktu yang sama UE juga melakukan diskriminasi dan intoleransi terhadap masyarakat imigran di negaranya sendiri.
Sementara itu, Parlemen Eropa juga telah mengeluarkan laporan setebal 51 halaman mengenai Kondisi Hak-Hak Dasar Fundamental di Uni Eropa tahun 2012 yang dikeluarkan pada 27 Januari 2014.
Laporan yang disusun oleh anggota Parlemen Eropa asal Belgia Louis Michel, MEP pada intinya mengutuk adanya sikap rasis, dan kekerasan terhadap migran, kelompok etnik dan agama minoritas yang telah mencapai tingkat sangat mengkhawatirkan.
Laporan ini juga menyerukan agar dilakukan revisi terhadap kerangka kerja yang harus mencakup hate-speech dan tindakan kekerasan terhadap anti-semit, Islamophobia, intoleransi agama, dan anti kaum gypsy (halaman 30 Report on the Situation of Fundamental Rights in EU 2012).
Wakil European External Action Service/Kemlu UE juga menyatakan bahwa hubungan antara Indonesia dan UE berada dalam tahap yang sangat baik, karena secara terbuka telah mendiskusikan berbagai isu HAM dan demokrasi yang menjadi perhatian bersama dalam kerangka Dialog HAM RI - UE, yang telah dilakukan 4 kali.
Masih Baik
Sebelumnya para pembicara dari Indonesia, yang diundang oleh CSW juga menjelaskan berbagai tantangan di Indonesia, namun secara umum toleransi dan kehidupan antar umat beragama di Indonesia masih berjalan dengan baik.
Mereka antara lain Pendeta Favor Adelaide Bancin (Persekutuan Gereja-gereja Indonesia), Dr. Ahmad Suhaedy (Abdurrahman Wahid Centre for Inter-Faith Dialogue dan The Wahid Institute), Mahmud Mubarik Ahmad (Jemaah Ahmadiyah Indonesia/JAI), Pastor Benny Susetyo (Konferensi Waligereja Indonesia/KWI), dan Ahmad Hidayat (Ahlul Bait Indonesia/ABI).
Pastor Benny Susetyo bahkan menjelaskan hubungan baik antara umat Muslim dan umat Kristiani dalam bentuk gotong-royong membantu kelancaran peringatan Natal 26 Desember 2013 lalu.
Dr. Ahmad Suhaedy dari Wahid Institute juga menyampaikan laporan dari Wahid Institute mengenai adanya penurunan kasus pada tahun 2013.
Bertindak selaku moderator adalah Hannu Takkula, anggota Parlemen Eropa asal Finlandia yang juga merupakan anggota delegasi Parlemen Eropa untuk Israel dan anggota aktif European Friends of Israel (EFI).
Meskipun Takkula adalah anggota Kelompok Kerja Informal Mengenai Kebebasan Beragama atau Kepercayaan dari Parlemen Eropa, Hannu Takkula menjelaskan bahwa pertemuan ini bukan merupakan agenda resmi Parlemen Eropa, dan penyelenggaraan dan hasil diskusi ini bukan atas nama atau mencerminkan sikap resmi Parlemen Eropa.
Diskusi ini dihadiri oleh 40 orang, yang mayoritas adalah unsur LSM.
(es/es)











































