Detikcom berkesempatan mengunjungi pulau yang berbatasan dengan Benua Australia di sebelah selatannya ini, Selasa (4/2/2014). Mendarat di Bandara Umbu Mehang Kunda atau Mau Hau di Kota Waingapu, jangan bayangkan sebuah bandara besar dengan pelayanan prima. AC pun tak ada.
Waingapu adalah ibu kota Kabupaten Sumba Timur. Meski saat ini musim hujan sedang menyapa Sumba, terik masih saja menyengat di siang harinya.
"Hujannya hanya sebentar-sebentar. Hanya satu atau setengah jam saja," cerita Dhani, warga Waingapu.
Perjalanan kami dimulai dari Waingapu menuju Desa Kuta. Perjalanan sekitar 45 menit dari pusat kota. Jalanan berliku namun lancar karena sudah beraspal.
Di kanan kiri jalan, kami beberapa kali melewati kebun milik masyarakat Sumba. Kebanyakan ditanami jagung dan kacang-kacangan.
Mereka memasang pagar kebun dengan pohon kehi. Sebuah pohon tangguh yang mampu hidup di tengah kemarau, bahkan di atas batu sekalipun. Pohon-pohon kehi ditanam berdempetan rapat satu sama lain, begitu rapi dan cantik.
Sepanjang jalan, mata juga dimanjakan oleh pemandangan padang rumput yang hijau tak berbatas. Berbukit-bukit, seperti diselimuti permadani hijau yang indah.
Sebagian tanah Sumba merupakan batu karang kapur yang tak bisa ditanami. Sehingga meski musim hujan, hanya rerumputan dan pohon kehi yang bisa hidup di sana.
Sesekali kami juga berpapasan dengan gerombolan kuda yang sedang merumput. Kuda asli Sumba disebut kuda sandel. Badannya lebih kecil daripada kuda pada umumnya.
"Walaupun kecil, kuda sandel kuat sekali. Bisa jalan 40 km tanpa berhenti," tutur Dhani.
Saat memasuki Desa Kuta, kami disambut pantai berpasir putih yang perawan. Pantai itu bernama Pantai Londa Lima. Namun, karena terletak di Desa Kuta, pantainya sering disebut Pantai Kuta. Tapi jangan bandingkan dengan Pantai Kuta di Bali.
Pantai Kuta di Sumba Timur ini, menyuguhkan pemandangan mempesona dengan cara sendiri. Selain pasirnya yang putih bersih, pemandangan bukit-bukit sabana di sisi lainnya mampu mencuri perhatian. Komplet.
Warna hijaunya padang rumput bertemu putihnya pasir, menjadi kontras yang cantik dengan warna biru air laut. Langit cerah semakin menambah pesona alam yang jauh dari hingar bingar perkotaan ini.
"Kalau di pantai di sebelah selatan Sumba, kita bisa melihat lampu-lampu di Australia," kata Dhani.
Tak hanya itu, gerombolan sapi ternak milik warga sekitar tampak gemuk dan makmur makan rumput di tepi pantai. Unik.
Warga Sumba memang dikenal sebagai peternak ulung. Dhani bercerita, masyarakat Sumba rata-rata memiliki puluhan hewan ternak mulai dari sapi, kerbau, hingga kuda.
"Ternak-ternak itu dilepas begitu saja di padang. Dibiarkan bebas. Biasanya baru dicek tiga minggu sekali," katanya.
Lalu bagaimana mengetahui ternak yang mana milik siapa? Jika diamati, setiap hewan ternak memiliki cap di badannya. Masing-masing keluarga, memiliki motif capnya sendiri.
"Misalnya marganya Tatimba, capnya huruf T," katanya.
Sedikit ke barat, kami sampai di Desa Maudolung, Sumba Timur. Masih di tepi laut, kami disuguhi pemandangan hutan mangrove alami.
Pasirnya putih, dan mangrove tumbuh subur melindungi daratan dari abrasi. Kami tak banyak menemui rumah warga di sepanjang jalan ini. Jika ada, jarak satu dengan lainnya cukup jauh.
Hingga sampai kami mendapati sebuah bangunan pasar di Desa Mondu. Pasar. Mondu yang hanya buka pada hari Jumat ini berbentuk sederhana. Di bagian depannya, terdapat belasan bilik bambu yang berfungsi sebagai kios para pedagang.
"Kalau bukan hari Jumat seperti sekarang, yang datang ke pasar ya ini. Kambing-kambing," canda Dhani sambil menunjuk gerombolan kambing yang merumput di pasar Mondu.
(sip/mok)