"Dari peristiwa yang penyidik jelaskan, dapat disimpulkan bahwa pemungutan dana iuran komite bulanan yang kemudian dibagikan kepada guru-guru, pegawai, guru tidak tetap, pegawai tidak tetap, tukang kebun, satpam atau honor tambahan yang dalam laporan pertanggungjawaban penggunaan iuran komite digunakan istilah 'uang transportasi' merupakan perbuatan yang dilarang pasal 12 huruf e UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," kata ahli pidana dari Universitas Udayana, Bali, I Gusti Ketut Ariawan dalam putusan PN Denpasar yang dilansir website Mahkamah Agung (MA) seperti dikutip detikcom, Senin (24/2/2014).
Hal ini disampaikan Ariawan saat menjadi saksi ahli kasus korupsi dengan terdakwa Kepala Sekolah SMAN 1 Semarapura, Bali, I Nyoman Mudjiarta. Selaku kepala sekolah, Mudjiarta menarik iuran siswa Rp 180 ribuan per bulannya. Dari iuran yang dikumpulkan 2010-2013 terkumpul dana Rp 2,1 miliar. Dana itu ditujukan untuk kesejahteraan guru/karyawan, termasuk untuk biaya kuliah S2 Mudjiarta.
Menurut Ariawan, sesuai UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP No 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan sebagai peraturan pelaksanaannya, maka pendanaan pendidikan harus tunduk pada peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 52 huruf a PP No 48/2008 menentukan pemungutan biaya pendidikan hendaknya pada perencanaan investasi dan/atau operasi yang jelas dan dituangkan dalam rencana strategis, rencana kerja tahunan serta anggaran tahunan yang mengacu pada standar nasional pendidikan. Di sisi lain, berdasarkan pasal 181 huruf d PP No 17/2010 menyebutkan pendidik dan tenaga pendidik, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang melakukan pengutan kepada peserta didik baik secara langsung maupun tidak langsung yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Lebih tegas disebutkan dalam Pasal 52 huruf j PP No 48/2008 yaitu tidak dialokasikan baik langsung maupun tidak langsung untuk kesejahteraan anggota komite sekolah/madrasah atau lembaga representasi pemangku kepentingan satuan pendidikan.
"Apabila orang tua siswa telah membayar pungutan Iuran Komite Sekolah--yang oleh kepala sekolah dihubungkan dengan persyaratan pengambilan rapor siswa--maka jelas-jelas perbuatan yang dimaksud merupakan 'pemaksaan' dengan menyalahgunakan kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 12 huruf e," tegas Ariawan.
Penahanan rapor ini dibenarkan oleh Mudjiarta sendiri dan dikuatkan salah satu orang tua siswa, Slamet Riyadi.
Atas hal itu, jaksa pun menuntut Mudjiarta selama 4 tahun penjara. Siapa nyana, dakwaan jaksa dan pendapat ahli memecah PN Denpasar. Majelis hakim yang diketuai Gunawan Tri Budiono dengan anggota Guntur dan Miptahul Halis terbelah. Gunawan menilai Iuran Komite Seklah sebagai bentuk korupsi sedangkan Guntur dan Halis sebaliknya, pungutan itu sah-sah saja.
Perbedaan pendapat ini meruncing sehingga diambil voting dan Gunawan kalah suara. Pada vonis 28 Januari 2014 yang dibacakan pada 7 Februari 2014, Mudjiarta pun bebas.
(asp/nrl)