Tapi mungkin ada cerita lain di balik metromini yang kontroversial ini. Di balik kemudi metromini, mereka sopir yang tak beda dengan kendaraan lain.
"Setoran sehari Rp 350 ribu," terang seorang sopir metromini 75 jurusan BlokM-Pasar Minggu yang tak mau disebutkan namannya sambil menyetir saat berbincang dengan detikcom akhir pekan lalu.
Ada sekitar 40-an metromini yang beroperasi setiap harinya di jalur Blok M-Pasar Minggu, yang terbilang bukan jalur gemuk. Jadi untuk menutup kejar setoran mereka pun harus sigap.
"Ya namanya kejar setoran," imbuh sopir asal Jawa itu.
Namun cerita lebih miris lagi soal uang pungli. Dalam sehari total Rp 35 ribu mesti disetorkan ke timer yang biasa mangkal di Pasar Minggu dan Blok M. Setoran pagi sekitar Rp 7 ribu, dan sore hari Rp 12 ribu.
"Ini buat harian, jadi kalau ditilang mereka yang ngurus," terang seorang kenek.
Jadi metromini ini beberapa memang bermasalah, mulai dari KIR, sampai izin trayek yang habis. Atau juga melanggar lalu lintas di jalan. Nah, timer ini yang akan membantu mengurus tilang itu, baik ke Dishub maupun ke polisi.
"Uang bayar tilangnya ya dari kita sendiri sih," terang kenek metromini itu.
Urusan dengan timer antara butuh dan tak butuh. Uang setoran yang mesti diberikan memang cukup memberatkan, tapi apa mau dikata, kalau ditilang mesti ada bantuan yang mengurus. Uang ke timer itu sekaligus juga uang keamanan.
"Yah yang penting kalau ditilang gampang dah," tuturnya.
Ada juga salah satu cara demi menghemat pengeluaran. Tak sedikit sekarang metromini yang beroperasi tanpa kenek yang menagih uang. Penumpang langsung bayar ke sopir ketika hendak turun.
"Lumayan bisa dapat uang lebih," timpal seorang sopir.
Metromini terus melaju menggilas jalan ibu kota. Entah sampai kapan armada yang identik dengan Jakarta ini bertahan.
(ndr/gah)