Dalam dokumen 13 halaman yang dimiliki Marinir dan sudah dikonfirmasi bagian penerangan, tercatat soal upaya hukum pembelaan terhadap Usman dan Harun setelah mereka tertangkap aparat Singapura sehari setelah insiden pengeboman. Selama empat tahun, mereka terus mengajukan upaya hukum hingga tingkat terakhir.
Sidang perdana Usman dan Harun digelar pada 4 Oktober 1965 dengan hakim J Chua. Mereka dituduh melanggar control area, membunuh tiga orang, menempatkan alat peledak dan menyalakannya. Kedua terdakwa menolak tuduhan itu karena perbuatannya dilakukan bukan atas kehendak sendiri, namun keadaan perang. Mereka juga sempat mengajukan diri sebagai tawanan perang.
"Namun tangkisan tertuduh Usman dan Harun tidak mendapat tanggapan yang layak dari sidang majelis. Hakim telah menolak permintaan tertuduh, karena sewaktu kedua tertuduh tertangkap tidak memakai pakaian militer," demikian informasi dari dokumen tersebut, Selasa (11/2/2014).
Akhirnya, dua anggota Korps Komando (kini Marinir) itu dijatuhi hukuman mati. Lalu, mereka mengajukan banding ke Federal Court of Malaysia, namun ditolak. Hingga pada tanggal 17 Februari 1967, perkara tersebut diajukan lagi ke Privy Council di London tapi tetap gagal. Usaha akhir lewat grasi pun dilakukan. Namun presiden Singapura kala itu, Yusuf bin Ishak, menolaknya.
Karena upaya hukum gagal, maka yang bisa dilakukan selanjutnya adalah lobi politik. Menlu Adam Malik sempat membantu untuk upaya pembebasan atau meringankan hukuman Usman dan Harun, namun tak berhasil. Hingga akhirnya pada tanggal 15 Oktober 1968 Presiden Soeharto mengirim utusan pribadi, Brigjen TNI
Tjokropanolo, ke Singapura untuk meminta keringanan hukum. Namun, pemerintah Singapura bergeming.
Bahkan permintaan Soeharto agar para terpidana dipertemukan dengan keluarganya sebelum eksekusi pun ditolak. Usman dan Harun hanya bisa mengirim surat terakhir pada keluarga.
Eksekusi mati tetap dilakukan pada 17 Oktober 1968 pukul 06.00 waktu Singapura di penjara Changi. Satu hari sebelum pelaksanaan eksekusi, Brigjen TIN Tjokropranolo sempat bertemu dengan kedua terpidana tersebut. Dia menyampaikan pesan dari sang presiden bahwa Usman dan Harun sudah dinyatakan sebagai pahlawan dan akan dihormati oleh seluruh rakyat Indonesia.
Benar saja, saat jenazah keduanya tiba di Jakarta, ribuan orang menyambutnya dengan penuh antusias. Mereka berdiri di pinggir jalan memberi penghormatan terakhir pada Usman dan Harun yang dibawa dalam mobil jenazah.
(mad/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini