Sejarawan Anhar Gonggong melihat operasi 'Ganyang Malaysia' itu sebagai tindakan Soekarno untuk mendapat dukungan dari publik Indonesia. Operasi tersebut bermuatan politis guna mempertahankan posisi Soekarno di dalam negeri.
"Setelah misi di Irian Barat selesai, kemudian Soekarno membangun sebuah cara lain untuk mendapat dukungan dalam negeri. Kemudian apa lagi? yaitu Malaysia (lewat aksi konfrontasi). Itu politik," kata Anhar kepada detikcom, Selasa (11/2/2014).
Menurut Anhar, meski Usman dan Harun menjalankan tugas yang dilatarbelakangi faktor politis, namun dua orang tersebut tetaplah pahlawan. Tak peduli apakah sasaran bom mereka itu menewaskan sipil atau tidak, yang jelas mereka sudah menunaikan tugas negara.
"Dalam pikiran Usman dan Harun, apakah itu kompleks militer atau bukan, dia harus berpikir cepat melakukan tugasnya. Kalau mereka tidak berhasil maka ada konsekuensi juga dari atasannya. Celakanya, mereka tertangkap," kata Anhar.
Hari berganti hari, tahun 1965 telah menjadi 1968. Usman dan Harun harus menerima hukuman mati dari Singapura. Kala itu, kepemimpinan di Indonesia sudah berada di tangan Soeharto. Pemerintah Indonesia, meski sudah berusaha, tapi tak kuasa mencegah hukuman mati terhadap dua warga negaranya itu.
"Saya ingat Ali Sadikin (kala itu Gubernur DKI era Soeharto yang pernah duduk di pemerintahan Soekarno) di TV kelihatan mukanya merah, karena kita sudah mengajukan permintaan jangan dijatuhkan hukuman mati. Tapi Singapura tidak mau menerima usulan kita," tandas Anhar.
Usman Bin Haji Ali alias Djanatin dam Harun alias Tohir bin Mahdar dieksekusi Singapura dengan dakwaan telah meledakkan Gedung Hongkong and Shanghai Bank. Ledakan itu menewaskan tiga orang dan melukai 33 orang lainnya pada 1965. Kini, Singapura prihatin ketika Indonesia berencana menamai KRI dengan nama Usman Harun.
"Emosi Singapura belum sembuh. Itu saja," nilai Anhar.
(dnu/ahy)