Mantan pimpinan Komisi III DPR Gede Pasek bercerita usulan RUU itu memang dulu dibahas. Namun menurut dia, asal mula pembahasan pengubahan RUU KUHAP berasal dari pemerintah.
"Konteksnya adalah semua lembaga yang diberi kewenangan harus mengacu pada hak asasi manusia juga. Ada kewenangan yang berlebih harus ada pengawasan juga. Negara demokrasi ciri-cirinya di situ. Ketika ada kekuasaan tanpa kewenangan, kita sudah bergeser dari demokrasi," jelas Pasek di sela-sela diskusi 'Lingkaran Kekuasaan, Konflik Politik, dan Korupsi', di Restoran Bumbu Desa, Menteng, Senin (27/1/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini yang seringkali miss. Masyarakat dihipnotis bahwa setiap orang yang menjadi tersangka maka orang itu sudah rusak dan divonis menjadi terpidana," jelas dia.
Jadi, tak heran kalau kemudian Komisi Hukum DPR melakukan perubahan dalam RUU KUHAP. Tak lain ini juga soal pemeriksaan yang dilakukan di KPK.
"saya punya pengalaman diperiksa KPK sebagai saksi. Baru mulai itu saya disuruh bersumpah dulu. Saya tanya dasar hukumnya apa, mereka jawab Pasal 116. Di situ ditulis saksi itu tidak disumpah, dia harus bebas. Kecuali dia tidak bisa hadir ke persidangan. Jangan dibalik semua harus disumpah dulu baru selanjutnya terserah dibawa ke pengadilan, nggak boleh. Jadi filosofinya ini sudah dibalik-balik dan ini tidak ada yang mengawasi. Saya saja yang sebagai mantan Komisi III saja dibegitukan bagaimana dengan yang lain nanti?" urainya.
Jadi dalam desain hukum KUHAP memang harus diperbaiki. Undang-undang itu memang harus segera diperbaiki karena sudah banyak ketinggalan zaman.
"Kalau KUHAP saya kira sudah dari 1981 ada. Hasil dari KUHAP itu langkah maju yang luar biasa, tetapi tidak dipungkiri juga banyak muncul pelanggaran HAM di sana dari penegak hukum. Penahanan yang begitu banyak itu sangat berbahaya," imbuhnya.
Sebagai contoh, laporan di Komisi III baik dari kepolisian dan kejaksaan itu banyak dilakukan. Masalah ini menurut dia bisa menjadi proyek kekuasaan penegak hukum.
"Mau ditangguhkan, mau dihabiskan, mau dipercepat itu semua ada alurnya. Sementara kalau di luar negeri tidak. Pokonya mau orang yang ditahan atau tidak itu kuncinya di hakim. Harusnya hakim yang menentukan orang itu ditahan atau tidak, bukan malah penyidik. Karena penyidik itu niatnya memang ingin bagaimana orang itu terjerat. Sehingga bisa ketemu titik tengahnya dari kewenangan hakim," jelas dia.
Pasek menambahkan, KUHAP yang berlaku untuk semua itu harus dipertahankan sebaik KUHAP yang mencerminkan asas asasi manusia dan kewenangan-kewenangan yang dibuktikan oleh penegak hukum.
"Tangkap saja, abis itu tahan dulu kan masih punya kewenangan 20 hari. Tambah lagi 40 hari padahal berkasnya sudah bisa jalan tapi dihabiskan karena rasa dendam si penegak hukum atau karena dia nggak mau bayar. Ini yang bisa terjadi. Banyak sekali korban seperti itu yang terjadi, makanya kalau bisa orang dihukum karena pengadilan yang menghukum dia bukan karena penyidik. Ini yang harus dilakukan," tutupnya.
(ndr/ndr)