“Kita bisa pahami kenapa ada penolakan, sebab lokalisasi seakan-akan melegalisasi proyek-proyek. Tapi saya bilang harus sadar betul, bahwa epidemik AIDS tiap tahun meningkat, dan itu karena memang pemerintah kesulitan memetakan potensi yang ada,” kata Devie kepada detikcom, Selasa (17/12) pekan lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Jika ada lokasi di titik tertentu, pemerintah bisa secara kasar melakukan prediksi, karena ada data real berapa banyak pelanggan yang datang tiap malam, sehingga bisa misalnya menyediakan obat sesuai potensi yang ada,” kata dia.
Ide lokalisasi yang digulirkan Ahok, menurut Devie, lebih efektif memerangi prostitusi dibanding meniru langkah pemerintah kota Surabaya yang justru ingin membubarkan lokalisasi prostitusi mereka, gang Dolly. Menurutnya, pelacuran yang sporadis seperti saat ini justru lebih berbahaya dan lebih berat untuk diselesaikan.
“Apalagi kalau misalnya tujuannya mengobati and memberikan pendidikan untuk menyadarkan mereka, maka kita akan kehilangan waktu, tenaga dan uang serta butuh usaha yang lebih besar jika (pelacuran) ini sporadis,” tuturnya.
Selain dari aspek kesehatan, Devie menuturkan, pelacuran yang sporadis seperti saat ini sangat mengkhawatirkan dan merusak masyarakat dari segi sosial. Akan sangat mungkin terjadi munculnya prostitusi liar di kawasan-kawasan yang seharusnya tidak menjadi tempat prostitusi seperti di perumahan, atau apartemen.
“Apakah masyarakat Jakarta ini menginginkan adanya warung remang-remang di setiap pojok Jakarta? Jangan-jangan itu nanti akan mempermudah anak-anak kita yang tadinya tidak punya akses ke lokasi prostitusi, akhirnya malah terbiasa,” kata dia.
Devie menghimbau masyarakat untuk tidak menutup mata terhadap realitas sosial yang ada. Dia mendukung pemerintah Jakarta Baru yang dipimpin Gubernur Joko Widodo segera membuat lokalisasi, meski ada suara miring dari komunitas tertentu yang dianggapnya tidak mewakili seluruh masyarakat.
Perbendaan pandangan itu dianggapnya biasa, namun tugas pemerintah adalah menimbang mana manfaat yang paling banyak untuk masyarakat luas. Dia mencontohkan di Amerika sampai hari ini masih berbeda pendapat soal lokalisasi prostitusi.
Peneliti dan pengamat sosial dari LIPI Syarif Hidayat menyatakan hal yang sama. Pembubaran lokalisasi malah membuat praktik prostitusi makin menyebar liar. Pelacuran, tersebar ke berbagai sudut kota hingga ke areal penyangga seperti di Parung. Ada yang terang-terangan menjual jasa seks, ada juga yang terselubung dalam bentuk Kopi Pangku atau bar dangdut dan panti pijat.
“Itu jebolan dari lokalisasi yang dikeluarkan. Akhirnya kan jadi penyakit sosial juga yang muncul,” kata Syarif ketika berbincang dengan detikcom, Selasa (17/12) lalu.
(ros/erd)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini