Ide lokalisasi sebenarnya bukanlah hal yang baru bagi warga Jakarta. Di Ibu Kota ini pernah didirikan lokalisasi Kramat Tunggak, yang konon terbesar di Asia Tenggara pada era Gubernur Ali Sadikin. Pada tahun 1999 lokalisasi ini dibubarkan oleh Gubernur Sutiyoso. Melonjaknya jumlah PSK dan mucikari menjadi salah satu alasannya.
Namun, penghancuran lokalisasi dan menggantinya menjadi pusat keagamaan (Islamic Center) tak serta merta bisa memberangus pelacuran. Praktik prostitusi justru menyebar, terjadi di sejumlah titik Ibu Kota. Hal ini yang mendorong Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama melontarkan ide untuk kembali membangun lokalisasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Coba kita lihat, kita habiskan berapa uang untuk membereskan Kramat Tunggak, sekarang berdiri sebuah Islamic Center yang bagus, tapi apakah sekarang pelacuran di DKI stop? Lebih tidak terkendali sekarang! Artinya, persoalannya bukan menutup lokalisasinya tapi bagaimana anda mengidentifikasi siapa yang jadi PSK,” ujar pria yang akrab disapa Ahok itu kepada detikcom, Rabu (18/12) pekan lalu.
Peneliti dan pengamat sosial dari LIPI Syarif Hidayat menyatakan hal yang sama. Pembubaran lokalisasi malah membuat praktik prostitusi makin menyebar liar. Pelacuran, tersebar ke berbagai sudut kota hingga ke areal penyangga seperti di Parung. Ada yang terang-terangan menjual jasa seks, ada juga yang terselubung dalam bentuk Kopi Pangku atau bar dangdut dan panti pijet.
“Itu jebolan dari lokalisasi yang dikeluarkan. Akhirnya kan jadi penyakit sosial juga yang muncul,” kata Syarif ketika berbincang dengan detikcom, Selasa (17/12) lalu. Persoalan prostitusi di Jakarta, kata Syarif, memang sulit diberantas, khususnya dari Jakarta, sebab masalah klasik ini selalu ada dalam tiap kehidupan manusia sejak zaman dahulu kala.
Hal yang sama dikatakan pengamat sosial dan peneliti kajian budaya dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati. Dia menilai masalah pelacuran memang sangat sulit diberantas dan butuh jangka waktu yang panjang. Perlu ada pendidikan, baik moral maupun dari pendidikan kesehatan reproduksi.
Ide lokalisasi yang digulirkan Ahok, menurut Devie, lebih efektif memerangi prostitusi dibanding langkah pemerintah kota Surabaya yang akan membubarkan gang Dolly. Menurut dia, pelacuran yang sporadis seperti saat ini justru lebih berbahaya dan lebih berat untuk diselesaikan.
“Saya malah khawatir sebab (pembubaran) ini akan malah jadi berbahaya, yang tadinya misalnya di satu kota hanya ada di sudut X, nantinya malah jadi tersebar di banyak sudut,” kata Devie.
(ros/erd)