"Begitu tiba di Libanon kami disambut salju yang dinginnya hingga minus 2. Dingin sekali itu," ucap pria yang tergabung dalam Batalyon Mekanis TNI Konga XXIII-G saat berbincang dengan detikcom, Kamis (19/12/2013). Sundoko baru seminggu lalu menyelesaikan tugasnya dan sekarang telah berada di Cipulir, Jakarta Selatan.
Selama di Libanon, meski dingin menggigit tulang, ia dan seribuan personel TNI lainnya tetap harus menjalankan amanah. Sedingin apa pun cuaca di Libanon, ketika jadwal bertugas, mereka harus keluar dari barak dan berpatroli.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tubuh Sundoko harus beradaptasi dengan cuaca ekstrem tersebut. Terbiasa dengan iklim tropis yang hangat, kulit Sundoko dan kawan-kawannya saat itu menjadi lebih sensitif.
"Kecubit sedikit saja langsung merah. Tangan rasanya tebel, beku," kata pria yang telah 7 tahun bergabung dengan TNI ini.
Menurut warga setempat, salju di Libanon turun setiap 5 tahun sekali. Sehingga salju di kawasan itu bukan hal yang langka.
"Jadi mereka menyambutnya biasa saja, malah kita yang norak," ujarnya.
Selama setahun di Libanon, Sundoko lebih banyak mengalami musim dingin daripada musim panas. Musim dingin di wilayah tersebut berlangsung sekitar bulan November hingga April. Sementara puncaknya terjadi sekitar bulan Desember hingga Januari.
Pihak TNI UNIFIL telah menyiapkan segala perlengkapan untuk menghadapi cuaca ekstrem di Libanon sehingga proses adaptasi Sundoko dan kawan-kawannya lebih mudah.
"Karena ini kegiatan rutin, kita sudah dikasih tahu tips-tips apa saja yang harus dilakukan untuk menjaga kesehatan diri maupun menghadapi penduduk setempat," katanya.
Pria yang pulang dari Libanon pada 13 Desember 2013 ini mengaku diperlakukan dengan hangat oleh penduduk lokal. Penduduk Libanon dengan mudah menerima tentara dari Indonesia.
"Alasannya sederhana, menurut mereka, orang Indonesia itu ramah. Kalau ketemu selalu senyum dan menyapa," tuturnya.
(kff/nrl)