Perjalanan ke Timur Tengah bukan soal yang sulit. Tinggal beli tiket lalu terbang. Bisa jadi yang memerlukan waktu hanyalah mencari visa. Dengan sedikit kegigihan, semua akan beres pada waktunya. Demikianlah yang saya alami di pertengahan Desember ini.
Pertama kali, saya menuju Amman, Jordania. Negeri yang dikenal dengan Kerajaan Hashemite ini ditempuh dengan penerbangan dari Jakarta - Dubai lalu Amman. Dalam penerbangan 8 jam ini puluhan calon TKI terlihat di pesawat, meskipun beberapa negara sedang diberlakukan moratorium. Repotnya, saya tidak mendapatkan waktu penerbangan yang baik. Berangkat habis maghrib waktu Jakarta tiba di Dubai hampir tengah malam dan baru terbang lagi pada pagi harinya. Transit di sini cukup panjang, sekitar 7 jam. Menurut informasi, penerbangan dari Dubai ke Amman hanya dua jam saja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal, kalau saja semua mekanisme berjalan lancar, maka kerepotan yang dimiliki perwakilan RI tidaklah serumit saat ini. Menurut aturan yang berlaku, setiap TKI resmi yang keluar negeri, mereka telah mengasuransikan dirinya sebanyak Rp 400 ribu. Itu mencakup pembayaran premi asuransi untuk 5 bulan pra-penempatan, 24 bulan masa penempatan, 1 bulan masa purna penempatan.
Dengan bayaran premi itu, apa saja yang dijamin? Sesuai dengan kesepakatan yang diteken TKI dengan konsorsium asuransi yang ditunjuk, mereka seharusnya mendapatkan perlindungan manakala terjadi gagal bekerja, diperkosa, terjadi kekerasan fisik, pindah majikan, hamil, penganiayaan, kecelakaan, meninggal, cacat, biaya perawatan, ganggunan mental, pemulangan, pengiriman jenazah, gaji tidak dibayar dan PHK sepihak.
Bayangkan, kalau satu tahun terdapat 500 ribu TKI yang berangkat, maka premi yang terkumpul sebanyak 200 milyar rupiah. Bila dihitung 5 tahun saja, maka ada uang premi yang terkumpul sebanyak 1 triliun rupiah. Wow!
Dalam catatan, dari Januari hingga 4 Desember 2013 BNP2TKI membantu 25 klaim asuransi seperti 15 kasus meninggal, 2 kasus gaji tidak dibayar, 4 kasus sakit, dan 1 kasus hamil. Uang yang dibayarkan oleh asuransi sebesar Rp 965 juta. Nah, bila demikian, apa dong masalahnya sehingga negara harus ikut campur terlalu dalam dalam soal ini.
Menurut informasi yang ada, tidak semua TKI pergi menggunakan asuransi. Mereka melenggang pergi dengan berbagai cara. Ada yang tujuannnya umrah lalu menjadi tenaga kerja, ada juga yang melancong lalu bertemu dengan majikan. Boro-boro mereka semua lapor ke KBRI, kadang justru ingin tidak ingin diketahui. Jumlah TKI "illegal" diperkirakan lebih 15-an persen. Tapi angka persisnya hanya Tuhan yang tahu.
Repotnya lagi, sebagaimana asuransi pada umumnya, ketika ada klaim maka persyaratannya cukup pelik dan cenderung rumit. Padahal, sebagian besar TKI kita di Timur Tengah adalah mereka yang berpendidikan rendah dan kurang pengalaman, sehingga kadangkala kurang paham tentang persyaratan klaim. Mereka lupa menyimpan surat perjanjian kerja hingga tidak mengurus kartu PHK.
Tapi, lagi-lagi, kadang suasana memang tidak berpihak pada TKI. Dengan sistem yang ada di tempat ia bekerja, paspor ditahan majikan dan ketika melarikan diri tidak memiliki dokumen secuilpun. Belum lagi kalau dalam suasana perang, mana mungkin seorang TKI dapat memenuhi berbagai persyaratan asuransi. Semuanya dalam kondisi force majeur. Di saat seperti inilah, semestinya ada kelonggaran dari asuransi yang diberikan kepada TKI untuk melakukan aneka klaim.
(rmd/rmd)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini