Direktur INSOS, Arifin Purwakananta mengatakan pemilihan penerapan warung cahaya perlu menyesuaikan sosial, budaya, dan karakter masyarakat setempat. Jadi, menurutnya memang tidak mudah prosesnya karena program ini sifatnya jangka panjang. “Kami sudah bertemu dengan orang-orang di sana. Tapi, masih sebatas rencana karena banyak yang perlu dlihat,” kata Arifin, kemarin.
Menurut dia, bukan tidak mungkin INSOS juga menerapkan warung cahaya di beberapa daerah maksiat di Jakarta seperti Cipinang dan Mangga Besar. Tapi, memang karakter masyarakat Jakarta tidak sama dengan daerah sehingga perlu strategi penyesuaian yang lebih tepat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia mengaku, aspek pendekatan dengan membimbing masyarakat untuk membuat kerajinan tangan seperti keset ataupun sapu masih belum sepenuhnya berhasil. Persoalan ini mengacu warung cahaya yang sudah diterapkan di Parung, Bogor.
Di Parung, masyarakat terlibat praktik prostitusi bukan karena kekurangan secara ekonomi, melainkan karena terbiasa mendapat penghasilan besar dengan cara mudah dan cepat. “Kami masih terus mencari pendekatan ekonomi yang membuat masyarakat tenang, ada penghasilan yang cukup dan tidak tergoda masuk ke prostitusi,” kata Arifin kemarin.
Soal perkembangan warung cahaya di Parung, ia mengaku ada perubahan positif di masyarakat yang berdekatan dengan praktik protitusi. Sejumlah warga dinilai sudah bisa menerapkan dan mengembangkan secara sendiri beberapa pendekatan agama dan ekonomi. Mereka bangga melakukan sesuatu yang baru sesuai bimbingan INSOS.
Tapi, secara keseluruhan hasilnya belum bisa dilihat karena program warung cahaya bersifat jangka panjang. Yang penting menurutnya dilakukan secara konsisten dengan pendekatan sosial dan agama.
(hat/erd)