Adanya anggapan bahwa masyarakat diuntungkan dengan keberadaan wanita penjaja seks komersiil membuat praktik prostitusi di Parung tetap berlangsung.
Menurut Direktur Institut Inovasi Sosial Indonesia (INSOS), Arifin Purwakananta pola pikir masyarakat yang diuntungkan dengan keberadaan wanita nakal membuat praktik prostitusi ini tetap ada.
Penyediaan akan pasokan rumah kontrakan, warung, hingga makanan dibutuhkan untuk eksistensi kegiatan warung remang-remang ini. “Kondisi ini akut ya karena sudah lama dibiarkan. Sudah seperti jalur Pantai Utara Jawa karena sering truk-truk mampir,” kata Arifin kepada detikcom Selasa (17/12) kemarin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahkan Sari mengaku mengontrak rumah milik salah satu tokoh di tempat tersebut. Sehingga dia menjamin setiap pelanggan yang menggunakan jasa dia akan aman dari gangguan warga.
“Ya amanlah, yang punya kontrakan orang terpandang di sini. Setiap malam di sini, malam Jumat libur,” kata Sari kepada detikcom Rabu dini hari tadi.
Setiap memberikan jasa, Sari memberikan tarif tertentu. Kepada pelanggan dia menyebut ada tiga jenis biaya yang harus dibayar, yakni untuk minuman ringan sebesar Rp 20 ribu, bir Rp 40 ribu, sewa tempat Rp 50 ribu dan tarif layanan seks sebesar Rp 100 ribu.
“Minuman dan sewa tempat itu untuk yang punya kontrakan,” kata wanita berusia 27 tahun ini kepada detikcom, Selasa (17/12) kemarin. Sari meyakinkan bahwa tidak akan ada lagi biaya tambahan atau kenaikan tarif harga.
Sementara itu Ani , wanita penjaja diri lainnya, berdiri di depan sebuah warung kopi, ia mengenakan celana levis panjang dan baju kaos longgar, usianya di atas 30-an tahun. Ani menawarkan tarif yang tidak jauh berbeda dengan Sari.
Menurut Ani, ia tidak bisa pergi atau meninggalkan tempat tersebut untuk memberikan layanan seks, sebab ia memiliki bos atau germo. Meskipun warung atau kontrakannya tidak berada di pinggir jalan, melainkan di dalam gang, ia dan rekan tidak bisa pergi diam – diam. “Tidak bisa pergi, kita di sini ada yang ‘ngawasin’,” kata Ani.
Keberadaan warung remang-remang dengan wanita nakal di Parung, Bogor menurut Arifin harus disikapi karena sudah lama dibiarkan. Salah satunya membentengi masyarakat wilayah sekitar dengan melakukan pendekatan pendidikan, budaya, ekonomi, dan sosial agar tidak ikut terjerumus ke dunia lender itu.
Berawal dari keprihatinan tersebut, membuat terobosan untuk membendung masyarakat agar tak terlibat lebih jauh dalam praktik prostitusi. Selama ini, praktik prostitusi di Parung masih awet karena ada kesempatan yang diberikan masyarakat setempat.
"Kami memang mencari apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan persoalan (prostitusi) ini," kata Arifin.
(erd/brn)