Di pinggir sebuah jalan yang merupakan perbatasan kecamatan Kemang dengan Jampang, lima orang perempuan berdandan menor berdiri sambil melambaikan tangan ke pengendara. Tiga dari mereka berdiri di sebelah sebuah warung bubur kacang hijau, sementara dua lainnya berdiri di seberang jalan.
Menjelang tengah malam, jumlah wanita di kawasan tersebut bertambah banyak. Jumlahnya mencapai dua puluhan. Mereka berdiri di pinggir jalan sepanjang jalur Kemang-Jampang hingga Hotel Transit Parung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka akan kembali ke pinggir jalan jika terlihat lampu kendaraan yang melaju dari kejauhan. Dandanan para wanita ini tidak terlalu mencolok untuk ukuran pekerja seks komersial (PSK).
Rias wajah atau Make up mereka tidak menor meski olesan bedak tetap terlihat. Pakaian yang dikenakan juga beragam. Sebagian mengenakan celana pendek, tidak sedikit juga yang mengenakan celana jeans panjang, dengan pakaian atas hanya memakai kaos atau dibalut dengan jaket.
Pemandangan ini terasa kontras jika dibandingkan dengan PSK di pinggir Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat. Di jalan Hayam Wuruk, para PSK merias diri dan mengenakan pakaian seksi.
Di Parung, Bogor memang terkenal banyak warung remang-remang. Namun, warung-warung tersebut letaknya tidak berada di pinggir jalan, melainkan di dalam gang perkampungan. Hanya beberapa PSK yang mejeng di pinggir jalan untuk menarik pelanggan agar mampir ke warung.
Transaksi antara PSK dan pelanggan pun terjadi di warung. Namun para wanita tersebut tak langsung bersedia diajak ke penginapan atau tempat kencan lainnya. Mereka mengajak calon pelanggan untuk mampir ke warung atau rumah kontrakan terlebih dahulu, sambil bersantai menikmati berbagai jenis minuman seperti bir.
Soal besarnya tarif layanan seks, ternyata tak ada patokan tertentu. Yang terpenting bagi wanita tersebut si calon pelanggan bersedia mampir minum di warung mereka. Seperti Yuni, -bukan nama sebenarnya-,.
Selasa petang kemarin dia berdiri di samping sebuah warung tenda bubur kacang hijau. Mengenakan celana pendek yang dipadu kaus berkerah berwarna putih. Gerakan tubuhnya tidak terlihat lembut layaknya wanita penggoda. Nada bicaranya terdengar datar, ia tidak menentukan besarnya tarif untuk layanan intim asalkan bersedia mampir minum terlebih dahulu ke warung.
βUntuk βmainnyaβ terserah berapa aja, yang penting minumnya,β kata Yuni kepada detikcom, Selasa (17/12) malam kemarin.
Berbeda dengan Yuni, Sari dan sejumlah wanita penjaja diri lainnya justru mematok tarif untuk setiap layanan seks yang diberikan. Persamaan mereka adalah tidak bersedia dibawa ke tempat lain saat melakukan hubungan layaknya pasangan suami istri. βHarus di kontrakan,β kata Sari.
Kawasan Parung sejak tahun 1960-an memang dikenal banyak bermunculan warung remang-remang. Praktik prostitusi marak di tempat tersebut. Banyak istilah yang disematkan pada wanita penjaja cinta di Parung. Mulai dari 'kupu-kupu malam', 'wanita nakal', sampai 'Duren Parung'.
(erd/brn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini